"Secara politik, pemerintahan Prabowo sudah sangat kuat. Bergabungnya PDIP, jika terjadi sekarang, tidak akan memberi dampak signifikan pada stabilitas maupun kinerja kabinet," ujar pengamat politik Jajat Nurjaman.
Jajat menambahkan bahwa meskipun politik bersifat dinamis, perbedaan pandangan antara PDIP dan pemerintah sebelumnya telah menciptakan jarak yang sulit dijembatani.
"Berbagai program yang digagas Presiden Prabowo sejauh ini diterima baik oleh masyarakat. Bahkan, partai-partai di luar kabinet pun mengapresiasi capaian pemerintah. Ini menunjukkan bahwa hambatan politik untuk menjalankan pemerintahan tidak lagi menjadi masalah besar," tegasnya.
Menurut Jajat, daya tawar politik PDIP saat ini tidak sekuat sebelumnya. Sebagai pemenang pemilu, PDIP memang memiliki posisi strategis di parlemen. Namun, besarnya dukungan mayoritas partai politik kepada pemerintahan Prabowo, baik dari dalam maupun luar kabinet, membuat posisi PDIP dalam konteks ini tidak lagi mendominasi.
"Jika PDIP bergabung sekarang, besar kemungkinan mereka tidak akan mendapatkan posisi strategis di kabinet, baik dari segi jumlah maupun peran," jelas Jajat.
Selain itu, wacana bergabungnya PDIP muncul di tengah situasi sensitif pasca-penetapan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, sebagai tersangka oleh KPK. Jajat menilai, langkah PDIP untuk mendukung pemerintah dalam kondisi ini dapat memicu sentimen negatif.
"Khawatirnya adalah muncul anggapan bahwa keputusan PDIP untuk bergabung didasari oleh tekanan politik. Ini bisa merugikan kedua belah pihak, baik PDIP maupun pemerintah," ungkapnya.
Jajat menyarankan agar PDIP mempertimbangkan posisi sebagai partai pendukung tanpa masuk ke dalam kabinet. "Bersikap seperti partai-partai di luar kabinet lainnya, yang tetap mendukung program pemerintah tanpa terlibat langsung, bisa membawa efek positif bagi PDIP dan pemerintahan Prabowo," ujarnya.