Cerita Pendek : Janji yang Terkikis Waktu (2) -->
Cari Berita

Cerita Pendek : Janji yang Terkikis Waktu (2)


Empat tahun, itulah waktu yang sudah kujalani bersamamu. Empat tahun aku setia tanpa mengenal atau mendekati laki-laki lain. Bahkan sepupuku yang dekat pun kutinggalkan, hanya demi menghargai hubungan kita. Padahal, kita hanya berpacaran, belum ada ikatan pernikahan. Tapi aku tetap berusaha menjaga perasaanku, menjaga kesetiaanku. Hanya untukmu.

Namun, empat tahun itu ternyata hanya berakhir dengan penghianatan. Aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya aku dapat dari semua ini? Kalau dibilang sakit, ya, ini sangat menyakitkan. Tetapi yang paling menyiksa adalah bagaimana kau terlihat begitu tenang dan baik-baik saja saat kita berpisah. Seolah-olah tak ada hal yang perlu dirisaukan. Kau melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang, sementara aku, aku harus menahan perih yang terus menggerogoti hati.

Sudah lelah aku menangis. Sudah lelah juga aku memohon, memohon agar kau berubah, agar kau kembali. Tapi ternyata, semua itu hanya sia-sia. Setiap kali aku merendahkan diriku di hadapanmu, berharap kau akan sadar, yang terjadi malah sebaliknya. Kau semakin jauh, semakin mengabaikanku, seolah-olah perasaanku tak berarti.

Lebih menyakitkan lagi, selama ini aku menyembunyikan semua masalah kita dari keluargaku. Aku takut mereka akan tahu bahwa hubungan kita sedang berantakan. Kupikir, dengan begitu, kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Tapi apa yang terjadi? Tanpa rasa bersalah sedikit pun, kau dengan mudah menghubungi kakakku, mengakhiri semuanya. Seolah-olah tak ada apa-apa yang perlu dibicarakan di antara kita. Hanya sebuah panggilan telepon, dan kau mengakhiri semuanya dengan ringan.

Saat itu, aku bertanya pada diriku sendiri, perempuan seperti apa yang sebenarnya kau cari? Apa yang salah denganku? Aku ingat dengan jelas, kata-kata pertama yang kau ucapkan ketika kita baru saja memulai hubungan ini. Kau berkata, "Masih ada nggak perempuan yang setia di dunia ini?" Aku ingin membuktikan bahwa aku adalah perempuan yang setia itu. Aku ingin menunjukkan bahwa di dunia yang serba cepat ini, kesetiaan masih ada, dan aku membuktikan itu untukmu.

Tapi yang aku dapatkan hanyalah penghianatan. Berkali-kali kau menghianatiku, dan berkali-kali pula aku memaafkanmu. Aku berharap, setiap kali aku memaafkanmu, itu akan menjadi kesempatan bagi kita untuk memperbaiki semuanya. Tapi apa yang terjadi? Penghianatanmu tak pernah berhenti. Sampai pada akhirnya, aku tak bisa lagi memaafkanmu. Bukan karena aku tak ingin, tapi karena kau sudah melibatkan keluargaku. Ini bukan lagi tentang kita berdua. Ini tentang bagaimana kau menghancurkan rasa hormatku terhadap diriku sendiri.

Aku ingat bagaimana kau, dengan penuh senyuman, menelepon kakakku dan mengakhiri semuanya. Tidak ada perasaan bersalah, tidak ada penjelasan. Hanya sebuah kalimat singkat yang menyatakan bahwa kau ingin mengakhiri hubungan ini. Saat itu, hatiku hancur berkeping-keping. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi keluargaku setelah ini. Mereka pasti akan menanyakan banyak hal, dan aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa orang yang selama ini mereka pikir baik, yang selama ini mereka hormati, ternyata menyakitiku dengan cara yang begitu kejam?

Namun, meskipun kau sudah menyakitiku, aku tak bisa membenci dirimu. Aku tahu, dalam dirimu masih ada kebaikan. Kau bukanlah orang jahat. Keluargamu juga baik. Aku tak pernah punya masalah dengan mereka. Bukan dirimu yang aku benci, tapi sifatmu yang tak pernah bisa berubah. Sifatmu yang selalu menganggap kesetiaan itu hal yang remeh. Sifatmu yang selalu meremehkan perasaan orang lain, termasuk perasaanku.

Dan kini, setelah semuanya berakhir, aku hanya bisa mendoakanmu. Aku berharap kau bahagia, di manapun kau berada. Aku berharap kau selalu sehat dan menemukan apa yang kau cari. Meskipun bukan aku yang ada di sampingmu lagi, aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.

Mungkin aku naif. Mungkin banyak orang akan menganggap aku bodoh karena masih bisa mendoakanmu setelah semua yang kau lakukan. Tapi inilah aku. Aku tak bisa membenci orang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku. Kau pernah membuatku bahagia, dan aku ingin menyimpan kenangan itu, meskipun sekarang semua sudah berubah.

Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar. Empat tahun aku belajar banyak hal darimu. Aku belajar tentang kesabaran, tentang pengorbanan, tentang bagaimana mencintai seseorang tanpa syarat. Dan, meskipun pada akhirnya aku yang terluka, aku juga belajar untuk memaafkan. Karena memaafkan adalah cara terbaik untuk melangkah maju. Memaafkan adalah cara terbaik untuk membebaskan diriku dari bayang-bayang masa lalu.

Dan kini, saat aku menutup bab ini dalam hidupku, aku sadar bahwa aku telah tumbuh lebih kuat. Meskipun aku harus melalui banyak rasa sakit, aku tahu aku bisa bangkit. Aku tidak lagi takut menghadapi hari esok, meskipun hari esok itu tidak lagi bersamamu.

Selamat tinggal, untuk segala kenangan yang pernah kita bagi. Terima kasih untuk pelajaran hidup yang telah kau berikan. Semoga kau menemukan apa yang selama ini kau cari. Dan semoga, suatu hari nanti, kita bisa saling memaafkan, dengan hati yang damai.

Aku melangkah pergi, membawa serta luka, tapi juga harapan. Harapan bahwa di masa depan, aku akan menemukan seseorang yang bisa menghargai kesetiaanku. Seseorang yang tidak akan pernah lagi membuatku meragukan diriku sendiri. Seseorang yang, pada akhirnya, akan membuatku percaya bahwa cinta sejati memang ada.