BUGISWARTA.COM, Jakarta -- Ketika Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dilantik dan diambil sumpah oleh negara untuk menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan negara, maka seluruh ornamen sosial dan politik yang melekat di dalam dirinya Presiden, baik Parpol, suku dan golongan otomatis tanggal dengan sendirinya.
Presiden harus berdiri di atas seluruh Parpol, suku, agama, golongan, dll. Presiden dapat saja divonis melanggar konstitusi, jika sang Presiden menempatkan diri atau dijadikan sebagai petugas-nya Parpol.
Menempatkan Presiden sebagai petugas partai adalah kudeta terhadap konstitusi dan sabotase terhadap azas kedaulatan rakyat yang diatur di dalam konstitusi UUD Negara Republik Indonesia.
Dalam konsepsi Pemlihan Presiden secara langsung oleh rakyat, Presiden adalah mandataris rakyat, bukan petugasnya Partai. Sekalipun dalam syarat administratif, seorang Calon Presiden diusung dan dicalonkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Namun, dalam praktek demokrasi langsung, rakyat yang berdaulat memilih sosok Presidennya. Di dalam bilik TPS, satu orang satu suara, tidak ada yang dapat mengintervensinya.
Di zaman Orde Baru, ketika itu Gokar adalah kekuatan politik yang sangat berkuasa. Namun, Presiden tidak pernah ditempatkan sebagai petugas-nya partai. Ketika itu Presiden dipilih secara tidak langsung oleh MPR-RI sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat. Kita dikenalkan dengan istilah Presiden sebagai mandataris MPR.
Dalam konsepsi pendiri negara MPR adalah lembaga tertinggi negara, lembaga bangsa yang mencerminkan semboyan bhineka tunggal ika, yang beranggotan wakil rakyat (DPR-RI) yang berasal dari Parpol yang dipilih secara oleh rakyat, juga wakil rakyat yang di-utus berdasarkan musyawarah mufakat (tidak dipilih langsung) dari dan oleh berbagai suku, agama dan golongan. Konsep para pendiri bangsa ini jauh lebih mulia jika dibandingkan dengan konsep Presiden sebagai petugas partai, yang mengkerdilkan institusi Kepresidenan.
Konsep Presiden petugas partai itu konsepnya negara negara yang menganut sistem satu partai, seperti di negara negara komunis, atau negara fasis. Teori dasar nya adalah negara sebagai alatnya kelas yang berkuasa. Di negara kapitalis, negara dinilai sebagai alatnya kelas borjuis.
Di negara komunis, supremasi politik diambilalih oleh Partai kelas pekerja, yang menempatkan negara sebagai alatnya kelas pekerja. Hukum tertinggi adalah hukum yang dibuat oleh Kongres Rakyat yang dibuat partai kelas pekerja.
Bisa dibayangkan dampaknya jika di negara Indonesia, yang tidak menganut konsep satu partai, menganut sistem pemilihan langsung Presiden, tapi menempatkan Presiden sebagai petugasnya partai.
Jika Presiden petugas Partai, maka otomatis negara adalah alat nya partai tertentu, seluruh pejabat negara dari Presiden, anggota DPR-RI, Gubernur, hingga Bupati/Wali Kota, dll. adalah petugasnya partai tertentu.
Padahal, bukankah seluruh Partai Politik mencantum azas negara (Pancasila dan UUD 1945) di dalam di AD/ARTnya? Bukankah seluruh pejabat negara diambil sumpahnya oleh negara untuk menjalankan peraturan dan perundang undangannya negara? Apakah di dalam konstitusi kita mencantumkan azas Presiden sebagai petugas partai?
Di dalam debat Capres nanti malam, kami berharap Pak Ganjar yang alumni Fakultas Hukum UGM dan Pak Prof Mahfud yang merupakan pakar hukum tata negara yang pernah jadi Ketua Mahkamah Konstitusi perlu menjelaskan ke publik, terkait konsep yang menempatkan Presiden sebagai petugas partai tersebut.
Haris Rusly Moti (eksponen gerakan mahasiswa 1998 Yogyakarta)