BUGISWARTA.COM, SUMATERA BARAT -- Komisi XI DPR-RI melakukan Kunjungan Kerja Spesifik ke Provinsi Sumatera Barat pada 9 hingga 11 September 2022. Agenda utamanya yaitu melakukan pertemuan dengan Gubernur Sumatera Barat, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, Kapoksi Fraksi Partai Gerindra di Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyoroti berbagai hal, antara lain belum optimalnya pertumbuhan ekonomi, penurunan penerimaan Bea Masuk dan PNBP, penurunan alokasi Dana Insentif Daerah (DID), kurang kredibelnya data penyaluran KUR, hingga tingginya inflasi.
Politisi yang biasa disapa Hergun ini lebih lanjut membeberkan capaian pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada triwulan II-2022 masih di bawah capaian pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut BPS, pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat mencapai 5,08% (yoy), sementara pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,44% (yoy).
Adapun yang menyebabkan belum optimalnya pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat yaitu berkontraksinya konsumsi pemerintah sebesar 10,56% dan menurunnya kinerja ekspor luar negeri sebesar 15,71%.
“Konsumsi pemerintah yang diharapkan menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi ternyata mengalami kontraksi yang cukup dalam. Seharusnya, belanja negara dan belanja daerah bisa lebih dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” kata Hergun
Menurut data Kementerian Keuangan, realisasi Belanja Negara di Sumatera Barat pada akhir Juli 2022 sudah mencapai 54,81%, namun terkontraksi 3,22% dari tahun sebelumnya. Sementara realisasi belanja Pemprov Sumatera Barat per 8 September 2022 mencapai 48,40%.
“Kinerja ekspor di Sumatera Barat juga perlu didorong agar tetap menguat. Pasalnya ekspor nasional masih tetap melanjutkan pertumbuhan yang tinggi yakni 19,74% (yoy) karena berlanjutnya windfall harga komoditas dan energi global,” lanjutnya.
Meskipun relatif puas dengan kinerja penerimaan negara, Hergun mempertanyakan menurunnya realisasi penerimaan Bea Masuk dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Secara keseluruhan penerimaan negara sudah baik, namun patut disayangkan terjadinya penurunan penerimaan Bea Masuk hingga mencapai 18,8% (yoy) di saat impor mengalami kenaikan sebesar 32,34% pada kuartal II-2022,” tambahnya.
“Demikian juga penerimaan PNBP yang mengalami kontraksi hingga 19,75%. Penurunan hampir 20% termasuk angka yang cukup besar,” lanjutnya.
Hergun juga mempertanyakan turunnya pagu Dana Insentif Daerah (DID) kepada Kementerian Keuangan dan Pemerintah Daerah Sumatera Barat pada 2022 hanya menjadi Rp81,12 miliar. Hal tersebut menyebabkan realisasi DID Sumatera Barat pada kuartal II-2022 terkontraksi sebesar 81,33%.
“Sumatera Barat telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dan ketimpangan. Keberhasilan tersebut seharusnya diberi reward dengan diberikan tambahan alokasi DID, bukan dikurangi,” tegasnya.
“Perlu kejelasan parameter terkait alokasi DID ini terlebih dalam hubungannya dengan Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). Jika sudah berprestasi namun DID-nya dikurangi, hal tersebut bisa menyebabkan daerah-daerah kurang bersemangat dalam memacu kinerja pembangunan di daerah,” lanjutnya.
Hergun juga mengkritik penyajian data realisasi penyaluran KUR yang mencapai lebih dari Rp6 triliun. Sementara penduduk Sumatera Barat secara keseluruhan berjumlah 5,8 juta jiwa. Artinya, bisa dikatakan setiap penduduk menerima Rp1,034 juta.
Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR-RI itu lalu menyoroti data inflasi di Sumatera Barat pada kuartal II-2022 yang lebih tinggi dari data inflasi nasional dan Sumatera.
Menurut catatan Bank Indonesia, pada kuartal II-2022 angka inflasi Sumatera Barat mencapai 6,60%, bahkan sempat menembus 8% lalu turun lagi ke 7.11%. Angka ini lebih tinggi dari angka inflasi nasional sebesar 4,35% (yoy) dan inflasi di Pulau Sumatera sebesar 5,82%.
Tingginya angka inflasi tersebut antara lain disumbang oleh inflasi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang mengalami inflasi sebesar 12,52% (yoy).
“Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan BI7DRR menjadi 3,75% guna meredam gejolak inflasi,” katanya.
“Pemerintah pusat, Pemprov, terutama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sumatera Barat perlu melakukan langkah-langkah konkret untuk meredam inflasi agar selaras dengan pengetatan moneter yang sudah dilakukan oleh BI,” lanjutnya.
Menurutnya, inflasi yang tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan melemahnya daya beli masyarakat dan akan menganggu pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Kapoksi Fraksi Partai Gerindra itu memberikan apresiasi atas keberhasilan Sumatera Barat dalam mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2022 tingkat kemiskinan di Sumatera Barat hanya 5,92% sementara angka nasional mencapai 9,54%. Lalu angka gini rasio Sumatera Barat hanya 3,00 sementara angka nasional mencapai 0,384.
“Capaian yang baik ini perlu ditiru oleh daerah-daerah lainnya serta oleh pemerintah pusat. Sumatera Barat telah membuktikan bahwa kemiskinan dan ketimpangan bisa diredam sedemikian rendah,” katanya.
Ketua DPP Partai Gerindra itu mendorong kolaborasi dan sinergitas Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Bank Indonesia juga Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi inflasi di Sumatera Barat.
“Pemerintah Pusat dan Pemprov perlu mengakselerasi belanja negara dan daerah, termasuk mengoptimalkan realisasi program PC-PEN, mengoptimalkan penyaluran KUR, mendorong kinerja ekspor, memperkuat UMKM, serta menjamin pasokan barang-barang terutama bahan pangan untuk mengatasi inflasi,” jelasnya.
Politisi yang berangkat dari Daerah Pemilihan Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) juga mendorong Bank Indonesia untuk menggencarkan promosi UMKM Sumatera Barat melalui kantor-kantor perwakilan BI di luar negeri.
“BI juga perlu mengakselerasi digitalisasi pembayaran untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Dan bersama TPID, melakukan tindakan-tindakan konkret untuk meredam tingginya angka inflasi,” pungkasnya.