Heri Gunawan
Anggota Komisi XI DPR-RI, Fraksi Partai Gerindra
Bugiswarta.com, Opini -- Korban virus corona di Indonesia per Kamis sore, 26 Maret 2020, mencapai 893 positif dan 78 Meninggal. Sejak diumumkan pada 2 Maret 2020 yang lalu, korban corona terus menanjak naik.
Makin ganasnya corona telah menyebabkan perekonomian limbung. Dua indikator utama yaitu nilai tukar rupiah dan indeks IHSG turun drastis. Otoritas fiskal dan moneter gagap mengatasinya.
Rupiah menjadi mata uang yang melemah cukup parah. Sebagai perbandingan, nilai tukar rupiah pada 2 Maret 2020 masih bertengger di Rp. 14.318 per dolar AS. Namun pada 26 Maret 2020 sudah turun menjadi Rp. 16.305 per dolar AS.
Nilai tersebut sejatinya masih lebih baik dibanding kejatuhan terdalam pada 24 Maret 2020 yang mencapai Rp 16.575 per dolar AS. Sepanjang tahun ini, nilai tukar rupiah sudah anjlok 19,35%. Mengingat pada 31 Desember 2019 lalu, rupiah masih tenang di posisi Rp. 13.866 per dolar AS.
Perlu ditegaskan, menguatnya rupiah pada Kamis 26 Maret 2020 bukan serta merta karena dampak kebijakan dalam negeri, tetapi karena imbas kebijakan Amerika Serikat yang menggelontorkan stimulus bantuan finansial 2 triliun dolar AS atau sekitar Rp 32.800 triliun. Sementara stimulus Indonesia yang senilai Rp. 158,2 triliun nampaknya belum direspon positif oleh pasar.
Langkah heroik yang ditempuh Amerika Serikat berbanding terbalik dengan yang terjadi di Indonesia. Menghadapi corona ternyata membuat Menteri Keuangan Terbaik di dunia Sri Mulyani kalang kabut.
Bahkan terkesan ada aji mumpung memanfaatkan momentum corona untuk meminjam ke IMF dan Bank Dunia.
Sebagaimana telah diumumkan, IMF telah menyiapkan dana 1 triliun dollar AS untuk negara-negara anggotanya yang menghadapi virus corona. Adapun Bank Dunia menyiapkan dana 14 miliar dollar AS untuk paket pembiayaan jalur cepat bagi negara yang juga menghadapi pandemi global itu.
Langkah Sri Mulyani yang akan meminjam ke IMF dan Bank Dunia sangat membahayakan Indonesia. IMF terbukti telah mengintervensi kebijakan ekonomi Indonesia saat memberi pinjaman untuk mengatasi krisis ekonomi 1997/1998. Resep ala IMF makin menjerumuskan Indonesia pada jurang keterpurukan yang makin dalam.
Sejatinya bila tanpa IMF dampak krisis ekonomi 1997/1998 diprediksi hanya menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun ke level 0 persen tetapi karena mengikuti resep IMF pertumbuhan ekonomi Indonesia ambles hingga minus 13,6 persen. Akankah kesalahan tersebut mau diulang kembali? Hanya keledai yang terperosok ke dalam lubang yang sama!
Menteri Keuangan Indonesia Jangan Dulu Menggunakan Bantuan IMF Dan World Bank Untuk Menanggulangi Covid19. Karena Indonesia pada tahap tidak bergantung IMF dan World Bank dan ini menjadi kunci kemandirian kita dan tidak terjebak pada bantuan IMF dan World Bank yang sering mengikat pada kebijakan dan policy ekonomi dan politik Indonesia.
Apakah Pak Jokowi Tahu Ini? Indonesia sudah berhutang sebesar 300 juta USD ke Bank Dunia untuk reformasi sektor keuangan dalam menjaga pertumbuhan untuk membuka peluang ekonomi baru. Disamarkan dari permasalahan akibat Covid-19.
Kalau ditanya uangnya dari mana? Sejatinya, ada beberapa solusi sumber pendanaan dalam negeri yang bisa dimanfaatkan. Diantaranya Sisa Anggaran Tahun Lalu (SAL), akumulasi dari Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SILPA) dan anggaran yang selama ini disishkan oleh pemerintah sebagai dana abadi (endowment fund) untuk keperluan cadangan yang diinvestasikan di Surat Utang Negara. Termasuk dana APBN yang ada BA99 yang selama ini dikelola oleh Menteri Keuangan Sebagai Bendahara Umum Negara.
Bahkan kalau perlu pemerintah bisa meminjam sebagian dana simpanan milik LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) yang mencapai lebih 150 triliun sebagai cadangan darurat oleh negara untuk keperluan mendadak karena uang tersebut tersedia dan sangat siap untuk dipinjam negara bila perlu karena posisi dana nya memang tidak sedang digunakan.
Ada cadangan devisa Indonesia yang dikelola oleh Bank Indonesia sekitar 130 billion USD atau setara dengan lebih 2.000 triliun rupiah bila kurs saat ini 16.800 rupiah per US dollar.
Karena Bank Indonesia tidak sepenuhnya menggunakan cadangan devisa untuk operasi moneter menjaga stabilitas nilai tukar rupiah saja seperti saat ini. Sehingga operasi moneter nya lebih terimbang untuk yang lain lebih urgent.
Pemerintah cukup dengan menerbitkan open end Surat Utang Negara (SUN) yang khusus dibeli oleh Bank Sentral dan meminta Bank Indonesia membeli SUN tersebut dengan asumsi bunga dibawah 5%. Kalau pemerintah menerbitkan SUN senilai 20 billion USD akan setara dengan 336 triliun rupiah.
Kebijakan seperti ini harus diambil karena kalau kita menerbitkan global bond disaat pasar global sedang terimbas Covid19 maka timbal balik atau rate return SUN yang diterbitkan oleh Indonesia akan sangat mahal biayanya karena ini adalah kesempatan bagi fund manager asing untuk memeras institusi negara yang sedang membutuhkan uang disaat mereka butuh likuiditas dalam jangka pendek mengatasi kebutuhan belanja negara yang mendesak.
Dana-dana tersebut sudah lebih dari cukup untuk mengatasi corona. Menteri Keuangan tidak perlu menjerumuskan Indonesia dalam lilitan IMF/World Bank.
Bahkan Menteri Keuangan tidak perlu membuka rekening khusus untuk menampung sumbangan dari dunia usaha. Para pengusaha jangan dibebani lagi dengan sumbangan karena saat ini pun para pengusaha sedang berjibaku menyelamatkan usahanya dari dampak corona.
Disamping kebijakan tersebut, juga mengusulkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani agar segera melakukan penjajakan kepada negara negara donor untuk di negosiasi guna menunda dulu pembayaran utang, ini berbeda konteksnya, ini bukan ketidakmampuan bayar.
Ini karena ada hajat kemanusiaan yang lebih penting, atau mungkin Menkeu takut Indonesia masuk kategori negara "terbelakang" lagi, yang dulu dijuluki HIPC (high indebted poor country). Nanti predikat Menkeu terbaiknya dicopot.
(***)