Bugiswarta.com, Sukabumi -- Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, tren munculnya perusahaan domestik di bidang teknologi keuangan (fintech), perusahaan rintisan (startup), ride hailing, toko daring (e-commerce), hingga virtual banking mampu menarik minat investor luar.
“Hal ini bahkan mengangkat Indonesia sebagai negara dengan kontribusi ekonomi digital nomor 1 di kawasan Asia Tenggara dengan nilai sebesar USD 40 Miliar di tahun 2019 dan diprediksi tumbuh menjadi USD 133 Miliar di tahun 2025 sesuai riset Google dan Temasek,” kata Heri Gunawan, Selasa (10/3/2020)
Pada satu dekade terakhir ini, kata pria yang akrab disapa Hergun, terjadi gelombang digitalisasi dan penetrasinya dalam setiap sisi kehidupan. Transisi sistem ekonomi dan keuangan konvensional menuju ekonomi kontemporer berbasis digital semakin diakselerasi oleh perusahaan yang telah melengkapi bisnisnya dengan aplikasi mobile payment berupa uang elektronik.
“Tanpa sadar, kita mengubah tatanan perilaku, bentuk aktivitas dan pola transaksi kita sehari-hari melalui seluruh perangkat digital yang kita miliki,” ujar Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Gerindra DPR RI.
Heri Gunawan menjelaskan, Bank Indonesia sebagai bank sentral yang berkewajiban menjalankan amanat Undang-Undang No 22 Tahun 1999 untuk berperan secara strategis dalam mencapai dan menjaga kestabilan nilai mata uang Rupiah dituntut untuk merumuskan solusi bagi tantangan kebijakan baru di era digital.
Oleh karenanya, hadirnya kebijakan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan kelancaran Sistem Pembayaran Nasional (SPN) menjadi prioritas yang memerlukan kebijakan pengaturan, pengelolaan dan pengawasan serta dukungan infrastruktur teknologi yang handal.
“Kebijakan-kebijakan terkait Pembayaran Nasional tersebut sepenuhnya menjadi domain Bank Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan data Bank Indonesia, lanjut Ketua DPP Partai Gerindra, transaksi uang elektronik (cashless) dengan menggunakan media elektronik tumbuh pesat dalam 10 tahun terakhir. Sepanjang tahun 2018, volume transaksi tercatat sebanyak 2,92 Miliar transaksi atau tumbuh 16.600 kali dibandingkan tahun 2009.
Pertumbuhan nilai transaksi juga melesat hingga sebesar Rp 47,19 triliun atau tumbuh 90,9 kali dari tahun 2009 yang sebesar Rp 519 Milyar. Sementara itu, sistem pembayaran uang elektronik pun juga mengalami perkembangan menjadi card based dan server based.
Berdasarkan riset morgan stanley tahun 2019 (indonesia banks: fintech) terhadap 1.582 responden, 20% memilih menggunakan pembayaran digital dari perusahaan fintech dibandingkan milik bank, perusahaan telekomunikasi atau e-commerce. Adapun besaran transaksi rata-rata tercatat sebesar Rp 600.000,- per bulannya.
Berdasarkan data Bank Indonesia, terdapat 58 penyelenggara teknologi finansial (tekfin) yang terdaftar dan 38 perusahaan yang mendapatkan izin menerbitkan uang elektronik.
“Sistem pembayaran yang terkini dan sedang menjadi tren adalah pembayaran dengan pemindaian kode QR yang berbasis server atau server based,” bebernya.
Kode QR merupakan kode dua dimensi berbentuk kotak yang mampu memuat data secara tepat dan cepat memberikan kenyamanan dan kecepatan yang dibutuhkan dalam pola pembayaran era digital ini. Pada tanggal 17 Agustus 2019, BI mengeluarkan kebijakan baru dalam merespon perubahan dengan QRIS (Quick Response Code Indonesia Standard).
Kebijakan ini bertujuan mendukung perkembangan ekonomi digital melalui penyeragaman (standardisasi) QR CODE sehingga menjadi lebih mudah dan dapat diawasi oleh regulator dari satu pintu. QRIS dengan jargon UNGGUL (Universal, GampanG, Untung, Langsung) telah diberlakukan pada Januari 2020 dan menjadi satu-satunya standar baku sistem pembayaran berbasis kode QR di Indonesia.
“Sosialisasi QRIS pada hari ini ditujukan untuk meningkatkan penetrasi pembayaran elektronik. Dan karena itu, saya ingin sharing beberapa beberapa catatan mendasar,” tuturnya.
Yang pertama, sebut Heri, kehadiran sistem pembayaran digital hendaknya dilengkapi dengan regulasi-regulasi yang bertujuan untuk menjadi payung hukum dan memastikan bahwa setiap transaksi digital aman dan terintegrasi agar memudahkan pengawasan namun disisi lain memiliki takaran yang tepat dalam mendukung pertumbuhan ekonomi digital dan manfaatnya bagi masyarakat.
Poin kedua, perlunya edukasi keuangan yang lebih masif dengan bentuk sosialisasi yang menggunakan media mutakhir seperti medsos, youtube dll sehingga lebih atraktif dan menjangkau publik secara luas, memberikan manfaat optimal dan berkelanjutan serta mempercepat peningkatan inklusi keuangan yang diharapkan.
Untuk poin ketiga, penggunaan perangkat digital juga mengubah lanskap risiko secara total yang tentunya menjadi momok baru bagi stabilitas ekonomi, moneter dan sistem keuangan nasional. “Peran perlindungan yang disediakan Bank Indonesia harus dilakukan secara total melalui sinergi antar kelembagaan terkait yang ada,” pungkasnya.
Sumber : Radar Sukabumi