Bugiswarta.com, Jakarta -- Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID) Jajat Nurjaman mengatakan, agar tidak ada lagi kecele alias miss komunikasi terkait siapa saja pihak yang akan mengisi pos menteri kabinet kerja jilid II akan lebih baik jika informasi ini tidak sampai keluar istana.
Hal ini untuk mengantisipasi rumor seperti yang terjadi dalam pembentukan menteri pada 2014 yang lalu dimana harus ada calon menteri yang di gadang-gadang akan masuk kabinet tapi tidak jadi dilantik padahal sudah di dalam datang ke istana.
“Pada dasarnya publik memahami jika penunjukan menteri merupakan hak prerogatif dari Presiden, akan tetapi tentunya akan menjadi preseden buruk jika kejadian seperti yang terjadi di tahun 2014 kembali terulang, saya kira disinilah pentingnya menjaga komunikasi dengan baik agar tidak ada pihak yang merasa di permalukan”, tutur Jajat.
Jajat meniai, keinginan Presiden Jokowi dalam mengatur komposisi menteri dalam kabinetnya nanti dengan persetase 45 persen dari kalangan profesional dan 55 persen dari partai politik sepertinya akan sulit di wujudkan. Pasalnya, jika partai koalisinya semakin gemuk tentu diperlukan solusi untuk menghindari terjadinya gesekan dari dalam internal koalisi.
“Periode kedua Jokowi yang di dukung dengan koalisi gemuk bukan merupakan jaminan akan menjadi lebih baik dari periode pertama, namun terlepas dari itu dengan adanya tambahan kekuatan baru dalam pemerintahan diharapkan tidak hanya sebatas mengisi muka baru, tapi memberikan solusi atas berbagai permasalahan negara saat ini, sehingga bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat”, tutup Jajat.
Hal ini untuk mengantisipasi rumor seperti yang terjadi dalam pembentukan menteri pada 2014 yang lalu dimana harus ada calon menteri yang di gadang-gadang akan masuk kabinet tapi tidak jadi dilantik padahal sudah di dalam datang ke istana.
“Pada dasarnya publik memahami jika penunjukan menteri merupakan hak prerogatif dari Presiden, akan tetapi tentunya akan menjadi preseden buruk jika kejadian seperti yang terjadi di tahun 2014 kembali terulang, saya kira disinilah pentingnya menjaga komunikasi dengan baik agar tidak ada pihak yang merasa di permalukan”, tutur Jajat.
Jajat meniai, keinginan Presiden Jokowi dalam mengatur komposisi menteri dalam kabinetnya nanti dengan persetase 45 persen dari kalangan profesional dan 55 persen dari partai politik sepertinya akan sulit di wujudkan. Pasalnya, jika partai koalisinya semakin gemuk tentu diperlukan solusi untuk menghindari terjadinya gesekan dari dalam internal koalisi.
“Periode kedua Jokowi yang di dukung dengan koalisi gemuk bukan merupakan jaminan akan menjadi lebih baik dari periode pertama, namun terlepas dari itu dengan adanya tambahan kekuatan baru dalam pemerintahan diharapkan tidak hanya sebatas mengisi muka baru, tapi memberikan solusi atas berbagai permasalahan negara saat ini, sehingga bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat”, tutup Jajat.