Bugiswarta.com, Jakarta – Penyebutan makar terhadap aktivis Gerakan 2019 Ganti Presiden oleh pihak Istana Ali Mochtar Ngabalin mendapat protes keras publik. Pasalnya, hak menyampaikan pendapat sangat dilindungi oleh konstitusi dan jauh dari makna makar dalam pengertian hukum positif di Indonesia, karena mereka melakukan aksi kegiatannya tidak di objek-objek vital seperti yang dilarang UU No 9 Tahun 1998.
“Wajar publik menduga aksi pembubaran, persekusi dan tindakan represif lainnya pihak Istana sudah mengetahui. Hal tersebut terlihat dari statement Ali Mochtar Ngabalin yang melabeli aksi 2019 ganti presiden adalah makar. Seharusnya pihak istana mampu mengkaji lebih dalam dan mengaitkan unsur-unsur hukum makar terlebih dahulu sebelum berkomentar. Jika tidak melakukan hal tersebut seolah rezim saat ini panik oleh gerakan 2019 ganti presiden”, tutur Panji, Rabu Jakarta, 29 Agutus 2018
Panji menambahkan, pada tahun 2017 sudah terjadi pelabelan makar kepada pihak-pihak yang mengkritik pemerintah khususnya pada aktivis gerakan umat 212 dan 411 yang hingga kini tersangkanya pun tidak jelas penyelesaiannya, dan jika dikaitkan persoalan makar tersebut dengan aksi gerakan 2019 ganti presiden dengan jumlah massa lebih sedikit dan pola aksi di tempat umum tidak di istana negara, rasanya sangat berlebihan jika penyampaian pendapat di era demokrasi saat ini dianggap kegiatan makar.
Jokowi seharusnya mampu konsisten terhadap ucapan yang Ia waktu lalu, jika tindakan persekusi itu adalah tindakan barbar dalam era demokrasi, maka tindakan persekusi terhadap peserta aksi 2019 ganti presiden seharusnya Jokowi wajib angkat bicara.
“Karena penilaian publik terhadap Jokowi jika hanya dinilai dari statement Ali Mochtar Ngabalin justru merugikan Jokowi sendiri. Pasalnya publik menganggap Jokowi anti kritik dan mengarah ke otoriter, mengapa dulu Soeharto dianggap otoriter karena melarang demontrasi. Dan yang menghentikan aksi adalah aparat penegak hukum bukan Soeharto turun langsung di lapangan. Kini hal serupa juga terjadi Jokowi bungkam. Akhirnya banyak pihak istana berspekulasi dengan opini yang justru akan semakin memperkeruh stabilitas politik di tanah air, bagi Jokowi saya yakin ia tidak mau disebut kloningan orba”,tutup Panji.
“Wajar publik menduga aksi pembubaran, persekusi dan tindakan represif lainnya pihak Istana sudah mengetahui. Hal tersebut terlihat dari statement Ali Mochtar Ngabalin yang melabeli aksi 2019 ganti presiden adalah makar. Seharusnya pihak istana mampu mengkaji lebih dalam dan mengaitkan unsur-unsur hukum makar terlebih dahulu sebelum berkomentar. Jika tidak melakukan hal tersebut seolah rezim saat ini panik oleh gerakan 2019 ganti presiden”, tutur Panji, Rabu Jakarta, 29 Agutus 2018
Panji menambahkan, pada tahun 2017 sudah terjadi pelabelan makar kepada pihak-pihak yang mengkritik pemerintah khususnya pada aktivis gerakan umat 212 dan 411 yang hingga kini tersangkanya pun tidak jelas penyelesaiannya, dan jika dikaitkan persoalan makar tersebut dengan aksi gerakan 2019 ganti presiden dengan jumlah massa lebih sedikit dan pola aksi di tempat umum tidak di istana negara, rasanya sangat berlebihan jika penyampaian pendapat di era demokrasi saat ini dianggap kegiatan makar.
Jokowi seharusnya mampu konsisten terhadap ucapan yang Ia waktu lalu, jika tindakan persekusi itu adalah tindakan barbar dalam era demokrasi, maka tindakan persekusi terhadap peserta aksi 2019 ganti presiden seharusnya Jokowi wajib angkat bicara.
“Karena penilaian publik terhadap Jokowi jika hanya dinilai dari statement Ali Mochtar Ngabalin justru merugikan Jokowi sendiri. Pasalnya publik menganggap Jokowi anti kritik dan mengarah ke otoriter, mengapa dulu Soeharto dianggap otoriter karena melarang demontrasi. Dan yang menghentikan aksi adalah aparat penegak hukum bukan Soeharto turun langsung di lapangan. Kini hal serupa juga terjadi Jokowi bungkam. Akhirnya banyak pihak istana berspekulasi dengan opini yang justru akan semakin memperkeruh stabilitas politik di tanah air, bagi Jokowi saya yakin ia tidak mau disebut kloningan orba”,tutup Panji.