Bugiswarta.com, Sebuah
kelompok yang relatif kecil dari penduduk dunia mendiami Sulawesi Selatan telah
tercatat dalam sejarah sebagai salah satu bangsa yang berhasil menguasai banyak
lautan di dunia sejak penggerak angin masih peniup sombala yang berlayar dengan
dialek sendiri, bahasa sendiri dan jenis perahu sendiri sehingga sangat mudah
dikenali. Kapal-kapal phinisi telah lama berlayar di laut Jepang yang banyak
disusup para perompak laut atau bajak laut dengan aman karena kemampaun mereka
dalam melindungi diri yang gigih membuat kapal-kapal suku Bugis dan Makassar
menjadi disegani.
Kelompok
etnik Bugis adalah sekumpulan suku yang mendiami pulau bagian Selatan dari
Sulawesi dengan etnik, bahasa dan adat-istiadat tersendiri sehingga para
pendatang dari Minangkabau dan juga Melayu yang datang merantau ke Sulawesi
Selatan pada Abad ke-15 harus melakukan akulturasi budaya sehingga dapat
diterima oleh masyarakat Bugis. Saat ini suku Bugis terdiri dari lebih
6.000.000 jiwa dan terkonstrasi di bagian tengah dari provinsi Sulawesi
Selatan, namun keberadaan suku bugis yang memiliki jiwa perantau sangat tinggi
membuat kampung-kampung bugis dapat ditemukan di hampir seluruh pulau dan
tempat di nusantara.
Selain
di Indonesia, suku bugis juga banyak mendiami negara lain seperti Singapura
juga Malaysia dan membentuk perkumpulan keturunan di negara tersebut. Bugis
berasal dari kata "ugi" atau "to Ugi" merupakan bagian dari
rumpun suku Deutero-Melayu atau Melayu Muda yang masuk ke Nusantera pasca
migrasi besar-besaran dari daratan Asia. Sumber sejarah mencatatkan bahwa
Yunani merupakan tempat asal dari suku-suku Deutero-Melayu, meskipun demikian
sebuah manuskrip yang sangat original dengan judul I La Galigo memberikan
penggambaran sedikit berbeda mengenai asal usul suku Bugis.
Nama
"Ugi" diambil dari nama raja pertama kerajaan Cina (berbeda dengan
Tiongkok yang kita kenal hari ini) yang berada di daerah Sulawesi Selatan yakni
berada di Pammana. Saat ini Pammana berada di Kabupaten Wajo yaitu seorang raja
bernama La Sattumpungi. Suku Bugis atau "to Ugi" mulai di kenal saat
rakyat dari La Sattupungi menyebut nama mereka sebagai "to Ugi" atau
pengikut dari La Sattumpungi. La Sattumpangi merupakan bapak dari We Cudai yang
juga saudara dari Batara Lattu, sedangkan Batara Lattu adalah ayah dari Sawerigading.
Perbesanan antar La Sattumpugi dan Batara Lattu dari pernikahan Sawerigading
dan We Cudai menghasilkan keturunan yang di kenal dengan nama La Galigo.
Hari
ini kisah La Galigo masih menjadi karya sastra yang paling tertua dan
terlengkap di dunia yang jika dituliskan dalam kertas folio akan menghabiskan
9000 halaman folio. Sejarah awal kehidupan suku-suku di Sulawesi Selatan,
termasuk suku Bugis tertera dalam kisah I La Galigo yang menceritakan tentang
Sawerigading Opnna Ware atau orang yang dipertuangkan di Ware. Selain tersebar
di Sulawesi Selatan, daerah lain di Sulawesi juga mengenal kisah Sawerigading
sama baiknya dengan masyarkat luwu, daerah-daerah tersebut adalah Kaili, Luwuk,
Banggai, Gorontalo dan juga Buton.
Perkembangan
Suku-Suku Bugis Pada awal perkembangan suku-suku lantas tidak terkonsentrasi
pada satu tempat melainkan membentuk beberapa rumpun dan komunitas di
daerah-daerah tertentu di Sulawesi Selatan bagian tengah seperti Wajo, Bone,
Sawitto, Suppa, Soppeng, Rappang, sidenreng, Pare-pare sampai di Sinjai.
Perkembangan budaya akhirnya terbentuk membentuk dialeg dan kebudayaan sendiri.
Perbedaan daerah menyebabkan keanekaragaman dialeg. Pada sekitar akhir abad ke
15, aksara manu-manu disebagian sumber juga menyebutnya sebagai aksara ketupat
terbentuk setelah banyaknya perjalinan kerja sama antar kerajaan baik sesama
kerajaaan bugis maupun kerajan dari suku luar. Aksara yang sangat original
Sulawesi Selatan ini tidak membentuk huruf vokal dan konsonan melainkan
membentuk sukunkata seperti hurug kata-katana, pallawa dan juga huruf china.
Ini merupakan ciri khas dari kebudayaan yang maju di masa tersebut dimana
banyak tulisan terpengaruh dari aksara Yunani namun tidak demikian dengan
suku-suku di Sulawesi Selatan.
Suku
bugis adalah suku-suku dan kerajaan-kerajaan mandiri yang sudah mampu mengatur
kehidupan rakyatnya sendiri namun hubungan dengan suku lain yang tidak dapat
dihindari membuat pernikahan antar suku baik dengan Mandar dan juga Makassar.
Pernikahan ini menyebabkan adanya pertalian antar suku yang sampai hari ini
sudah sangat sulit melacak awal mula pertalian. Selain asimilasi budaya karena
pertalian melalui pernikahan, daerah-daerah peralihan yakni batas antara daerah
bugis dan suku-suku lain juga menghasilkan budaya campuran. Daerah peralihan
tersebut seperti Polman dan Pinrang untuk yang berbatasan dengan suku Mandar
dan Makassar, Bulukumba, Sinjai dan Maros yang berbatasan dengan suku Makassar.
Kerajaan-kerajaan Tua seperti Cina (Pamanna), Mario (Soppeng) dan Siang
(Pangkajene dan Kepulauan) dianggap sebagai kerajaan bugis tertua.
Seperti
hukum alam yang berlaku pada sekumpulan manusia, keinginan untuk mengatur diri
sendiri juga terjadi pada perkembangan suku bugis. Hasilnya adalah terbentuk
banyak kerajaan bugis selain dari tiga kerajaan tertua yang disebutkan di atas.
Keadaan geografis dari Sulawesi Selatan yang kebanyakan hidup di daerah wilayah
berpantai membuat perdagangan melalui jalur pelayaran merupakan kegiatan yang
banyak dilakukan suku Bugis dengan kapal Pinisi khas bonto Bahari. Selain
pedagang (saudagar) karena adanya sistem pengkastaan di sistem tatanan
masyarakat suku Bugis dan Makassar membuat petani dan nelayan berada kasta ke
dua terbawah yakni masyakat berkasta rendah namun masih merdeka, selain dari
kasta tersebut pada kasta terendah ditempati oleh para budak yang tidak
memiliki nama dan menjadi pesuruh para kasta tertinggi.
Saat
ini sistem kasta hampir tidak ditemukan sama sekali tidak ditemukan di
kehidupan masyarakat bugis yang sudah modern. Para budak sudah tidak pernah di
temukan lagi dan petani ataupun nelayan tidak lagi diukur dari pekerjaan mereka
namun status sosial dan ekonomi menjadi penentu. Hanya sisa garis darah pada
kasta tertinggi yang masih ditemukan sampai hari ini. Ada banyak kisah yang
menarik dengan garis darah ini pada tata kehidupan masyarakat bugis, sebagian
lainnya miris dan sebagain lainnya masih sesuai dengan semestinya dan menjadi
pembeda dari kebudayaan Bugis yang besar.
MULIANA AMRI