Alkisah, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Aku adalah pintunya ilmu, dan Ali adalah
kuncinya".
Ya, sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah
menantu Baginda Nabi. Dikisahkan, Nabi merupakan pintu ilmu yang sangat luas.
Ia sebagai bekal dunia akhirat sebagaimana pernah disabdakan, kunci ilmu
dimiliki oleh sahabat Ali. Hati mana yang tak penasaran mendengar sabda Rasul
tersebut.
Pun dengan gerombolan orang-orang Khawarij. Mereka
gusar tiada tara tatkala mendengar kabar hadits ini. Kemudian mendorong mereka
berniat menguji kebenaran hadis kepada Rasulullah secara langsung.
Dikumpulkanlah tujuh orang dari golongan mereka.
"Jika Ali sebagai kunci ilmu, maka ketika kita
beri pertanyaan yang sama tentu jawabannya juga sama". Salah seorang dari
mereka mengawali pembicaraan. "Ya, benar kamu. Tidak mungkin seseorang
yang dianggap kuncinya ilmu akan menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda.
Jika memang benar ia kuncinya ilmu" yang lain menimpali.
Disusunlah strategi, rencana matang disusun,
"mari kita uji dengan memberikan pertanyaan yang sama, namun dari orang
yang berbeda-beda," usul salah seorang dari ketujuh khawarij tersebut dan
mereka berakhir pada kata sepakat. Pertanyaan yang akan diajukan, antara
ilmu dan harta, manakah yang lebih utama?
Setelah mereka memberikan pertanyaan yang sama. Mereka
mendapat jawaban yang sama pula. Antara ilmu dan harta, yang lebih utama adalah
ilmu. "Tapi tunggu dulu, apakah Ali juga memberikan alasan tentang
jawabannya?" tanya salah seorang dari mereka. "ya, benar" timpal
mereka bersama-sama. "Apa itu?".
"Kalau ilmu menjagamu. Namun, harta, engkau yang
harus menjaganya," orang pertama dari kelompok khawarij menyampaikan
alasan yang dikemukakan sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah.
"Jika ilmu adalah warisan nabi, harta adalah warisan Qorun yang
terkutuk". Orang kedua menambahi kemudia "ilmu jika ditasarufkan,
akan bertambah. Sedang harta, jika ditasarufkan akan berkurang," tambah
orang ketiga menyampaikan kutipan argumentasi yang ia terima.
Mereka mulai heran akan jawaban yang berbeda-beda.
"Andai kau memilih ilmu, kau akan mendapat julukan yang baik, namun jika
harta, julukan buruk yang kau dapat," demikian orang keempat menjelaskan.
Mereka semakin ragu akan alasan yang berbeda-beda.
"Ilmu itu menerangi hati, sedangkan harta
mengeraskan hati," "Ilmu jika dibiarkan tidak apa-apa, namun harta
jika dibiarkan akan rusak", "ilmu ketika di hari kiamat akan
menolongmu, namun harta akan menjadi penyebab lamanya hisab di hari
kiamat." Demikian mereka bergantian menyampaikan.
Sejenak, mereka tertegun akan alasan yang
berbeda-beda. Bagaimana mungkin, pertanyaan yang diberikan kepada orang satu,
menghasilkan jawaban yang memiliki alasan-alasan tersendiri.
Namun, dengan cepat mereka tersadar akan keutamaan
ilmu yang dimiliki sahabat Ali bin Abi Thalib. Alasan demi alasan yang
diutarakan sahabat Ali bin Abi Thalib berbeda, namun antara satu dan lainnya saling
menguatkan, antara ilmu dan harta lebih utama ilmu.
MULIANA AMRI