Ita Azzahra
(Mahasiswi STISIPM Sinjai)
|
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku. Kondisi yang biasanya berlangsung lama ini sering diartikan sebagai gangguan mental mengingat sulitnya penderita membedakan antara kenyataan dengan pikiran sendiri.
Skizofrenia atau umum disebut sebagai orang kurang waras atau biasa dengan konotasi negatif dikatakan "orang gila" mayoritas ditemui di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan sebagian masih ada yang sering ditemui di jalan atau pasar-pasar tradisional, mereka kadang berbicara sendiri, tertawa sendiri, kotor, berpakaian ala kadarnya dan bahkan ada yang sama sekali tidak mengenakan pakaian.
Skizofrenia atau orang dengan gangguan kejiwaan seringkali dihindari di kalangan masyarakat, entah karena jijik dengan penampilan mereka yang berantakan, atau takut tertular penyakit. Tidak hanya dihindari, mereka juga diolok-olok, bahkan dilempari dengan batu, perlakuan tersebut sering kali dilakukan untuk mengusir mereka atau kadang-kadang justru tanpa alasan yang jelas. Keadaan ini diperparah saat orang-orang sekitar yang melihat seolah menutup mata, terkesan tidak peduli. Padahal perilaku mendiamkan bisa saja diartikan sebagai bentuk persetujuan terhadap tindakan yang tidak berprikemanusiaan tersebut.
Konon, para skizofrenia akan mengganggu kenyamanan dan keamanan lingkungan. Itulah mengapa masyarakat enggan untuk menerima kehadiran orang dengan gangguan kejiwaan. Rasa takut tersebut menyebar dari mulut ke mulut, lalu entah siapa yang memulai masyarakat tiba pada kesimpulan, bahwa para skizofrenia membahayakan orang banyak sehingga harus dihindari.
Dari kesimpulan dangkal yang tidak memiliki landasan dan stigma-stigma negatif yang terlanjur dilekatkan pada para skizofrenia itulah akhirnya menjadi acuan masyarakat. Tidak sampai di situ, banyak diantara mereka yang kemudian menanamkan pemikiran-pemikiran negatif terkait skizofrenia kepada anak-anak, ini mengakibatkan anak-anak menjadi kurang bersimpati dan justru malah menumbuhkan benih kebencian, yang pada gilirannya akan melakukan hal-hal negatif terhadap para skizofrenia.
Selain karena alasan dia atas, ketidakpahaman masyarakat terhadap cara penanganan skizofrenia, mendasari pihak keluarga yang tidak mampu membawa ke Rumah Sakit Jiwa, memilih memasung atau mengurung mereka di tempat yang kecil dan diberi makan ala kadarnya. Seolah mereka tidak lagi pantas hidup, dan hanya menunggu ajal menjemput. Mungkin bagi pihak keluarga itu adalah piihan terbaik, daripada harus menyaksikan anggota keluarga mereka (skizofrenia), menjadi bahan ejekan yang pada akhirnya keluargalah yang akan menanggung malu dan sakit hati.
Seperti yang disebutkan di atas, pokok permasalahannya terletak pada kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit skizofrenia, dimana hal ini memicu adanya gap antara mereka dan orang normal. Ditambah stigma negatif masyarakat terhadap mereka menjadikan orang dengan gangguan kejiwaan menjadi semakin terpinggirkan.
Tidak dipungkiri orang dengan gangguan kejiwaan memang memiiki dunia tersendiri yang sulit untuk dimengerti, tapi ini bukan berarti mereka tidak bisa berkomunikasi dan mengerjakan banyak hal. Komunitas Griya Schizofren di Solo berhasil membuktikan, bahwa para skizofrenia bisa mengerjakan hal-hal sederhana yang biasa dikerjakan oleh orang normal pada umumnya seperti, memasak, mandi, dan membersihkan kotoran, bahkan para skizofrenia juga curhat, menyanyi dan bisa mengaji.
Padahal perlu diketahui, Komunitas Griya Schizofren ini bukan sekumpulan psikolog, mereka adalah anak muda yang peduli terhadap orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan. Ini diungkapkan saat diundang di salah satu stasiun televisi swasta.
Ini menjadi cermin, tidak harus menjadi ahli kejiwaan untuk bisa membantu para skizofrenia. Menghilangkan stigma bahwa mereka berbahaya, memberikan sedikit ruang penerimaan, dan memperlakukan dengan cara-cara manusiawi, rasanya cukup membantu bagi para skizofrenia juga pihak keluarga.
Selain itu, sosialisasi tentang kesehatan mental dan cara penanganan sederhana, bagi pihak keluarga yang memiliki anggota keluarga skizofrenia sangat dibutuhkan. Edukasi akan membantu menngubah mindset keluarga yang tadinya malu menjadi menerima keadaan dan aktif memberikan pengobatan, tidak hanya secara medis tapi juga moril.
Dengan di terimanya para skizofrenia oleh pihak keluarga secara tidak langsung memberikan pula peluang kepada masyarakat untuk menghargai dan lebih peduli kepada mereka. Sebab kesembuhan mereka selain dipengaruhi oleh lingkungan tentu saja juga tergantung dari dukungan keluarga.
Perlu diketahui, skizofrenia juga generasi bangsa yang memiliki hak untuk diperlakukan sebagai manusia, mungkin mental mereka terganggu, tapi sudah seharusnya sebagai orang yang mengaku normal perlu mengalah dan memilih mengerti keadaan, bukan justru menjadi orang yang lebih gila. Bayangkan, orang dengan gangguan kejiwaan saja tidak pernah mengganggu jika tidak diganggu, lantas bagaimana mungkin orang yang mengaku normal tega melakukannya? Maka mari gandeng tangan mereka, bantu keluar dari tekanan dengan menerima kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat. Skizofrenia juga manusia, mereka hanya perlu dipahami bukan dilempari.