Suasana tanah Kaloling pada sore hari, ketika matahari sudah mulai melemah, redup pasrah pada rayuan kegelapan, yang menandakan bahwa si maha terang itu sebentar lagi akan terbenam. Cuaca pun turut ikutan mengubah diri terasa dingin pada pori-pori dan kulit insan-insan, makhluk paling sempurna ciptaan Ilahi.
Kondisi tersebut membuat tanah Kaloling berubah menjadi hening, yang tadinya dikenal sebagai daerah panas yang dihiasi dengan bebatuan-bebatuan yang berwarna hitam serta mengkomplitkan karakteristik masyarakatnya pada sifat temperamentalnya.
Pada suasana keheningan itu, duduklah Timo Daeng Mamanjeng di ruang depan gubuk yang beratapkan rumbia. Seketika itu pula, berdengung panjang telinga kanannya. Hal itu diyakini bahwa, itu adalah isyarat atau tanda akan ada informasi atau kabar berita baik pada dirinya (menurut kepercayaan orang-orang dahulu).
Tak lama kemudian, dari kejauhan terlihat pemuda paruh baya mengenakan celana pendek tanpa alas kaki dan mengikatkan salung dan selipan senjata tajam dipinggangnya mengarah ke gubuk Timo Daeng Mamanjeng itu. Pemuda itu berjalan pada pematang kecil, diantara pepohonan-pepohonan dengan lambaian dedaunan tiupan angin seolah-olah bersorak riang gembira dan memberi semangat hendaknya cepat menemui Timo Daeng Mamanjeng di kediamannya.
Pada waktu Timo Daeng Mamanjeng mengintipnya melalui celah-celah dinding gubuk yang terbuat dari bambu itu, tepat pula pemuda itu berdiri di depan pintu gubuk. Langsung pemuda itu memberi salam, kemudian memanggil nama Puang Timo Daeng Mamajeng (puang Timo, engkaki di bolae puang? dalam bahasa bugis) artinya apakah pak Timo Daeng Mamanjeng ada dirumah.
Puang Timo Daeng Mamanjeng menjawabnya : Ia saya ada. Lalu Timo Daeng Mamanjeng mempersilahkan pemuda itu masuk dan duduk di ruang tamu.
Timo Daeng Mamanjeng memasang bajunya yang lengan panjang, memasang kopia dan mengambil kaleng segi empat yang berisi tembakau, kapur dan daun sirih, serta tongkatnya, lalu menemui pemuda itu.
Puang Timo Daeng Mamanjeng bertanya dengan bahsa aslinya (bugis) : Naulle engka kareba maloppo palattukki anakku ri gubukke? artinya adakah berita penting yang akan disampaikan? Jawab pemuda itu : Tongeng puang, aleku paletturangngi makkeda naparelluangngi Arung Bulo-Bulo, artinya hamba datang disini dengan membawa kabar bahwa Arung Bulo-Bula membutuhkan orang berani seperti puang Timo Daeng Mamanjeng.
Selanjutnya, pemuda iu bercerita panjang lebar tentang situasi yang terjadi pada Arung Bulo-Bulo. Ceritanya demikian: Arung Bulo-Bulo diundang oleh Arung Bone untuk membantu mengatasi kelompok yang menamakan dirinya pemberani yang ada di daerah Peneki. Undangan untuk membantu Arung Bone itu tidak dapat disanggupi oleh Arung Bulo-Bulo. Oleh karena itu, maka dirancangkanlah sebuah acara sejenis pesta dengan istilah "abbahaang"(pesta rakyat sejenis kegiatan sayembara) yang diselenggarakan selama berminggu-minggu, bahkan bulanan untuk mendapat kesatria handal atau pemberani yang akan mengawakili Arung Bulo-Bolu dalam memenuhi undangan tersebut.
Konsekuensinya yakni Arung Bulo-Bulo siap melepaskan seluruh identitas kebesaran "Arung" kepada siapa saja yang sanggup untuk menyandangnya. Pakaian atau jas kehormatan Arung akan dipakaikan kepada pemberani dari golongan manapun, sebagai penggnti Arung Bulo-Bulo ketika itu.
Informasi itu disebarkan kepada seluruh masyarakat yang ada di wilayah kekuasaan Arung Bulo-Bulo tanpa terkecuali. Dengan perkataan lain bahwa seluruh masyarakat dari berbagai lapisan yang ada di wilayah kekuasaan Arung Bulo-Bulo mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan sayembara itu. Namun demikian, sangatlah disayangkan, minggu demi minggu telah berlalu, bulan demi bulanpun telah usai, tetapi tak seorangpun yang datang untuk mendaftarkan dirinya. (bersambung...)
Oleh : Supriadi/A. Rauf TM Pasanre