Nurmal Idrus
Sesaat setelah hasil hitung cepat Pemilu Amerika Serikat, Selasa lalu diumumkan dimana Calon Presiden Partai Republik Donald Trump menang atas Calon Presiden Partai Demokrat Hillary Clinton, maka bermunculannya analisis yang sungguh berbeda dengan banyak analisis sebelum pemilihan digelar.
Jika sebelum pemungutan suara analisis nyaris semuanya memprediksi Clinton menang maka pasca penghitungan suara analisis banyak mengulas faktor penentu hingga Trump yang tak diunggulkan bisa menang. Banyak yang menyarankan bahwa kemenangan Trump bisa menjadi pelajaran berharga bagi politikus di Indonesia.
Menurut saya dalam konteks politik Indonesia tak ada yang perlu dipelajari dari hasil fantastis yang diperoleh oleh taipan ini. Justru, belajar dari caranya menggapai kemenangan bakal memurukkan kita jika dipakai dalam kompetisi perebutan suara di Indonesia.
Kenyataannya, meski menang Trump sebenarnya bukanlah yang paling diinginkan rakyat Amerika. Mayoritas rakyat Amerika menginginkan Hillary menjadi pemimpinnya. Di akhir penghitingan suara Hillary meraih 60.122.876 suara sementara Trump hanya meraih 59.821.874. Tapi, Hillary kemudian harus menyerahkan posisi Presiden AS kepada Trump karena sistem pemilu yang menganut sistem electoral vote.
Sistem ini membuat pemenang di sebuah negara bagian akan memiliki semua suara elektoral yang dimiliki negara bagian itu. Artinya, meski kita misalnya hanya kalah satu suara di sebuah negara bagian suara yang kita raih menjadi tak ada artinya.
Itulah alasan pertama mengapa saya mengatakan tak perlu belajar dari kemenangan Trump. Sebab, dengan sistem pemilu suara terbanyak seperti di Indonesia maka Trump sebenarnya bukanlah pemenang yang sesungguhnya.
Itulah alasan pertama mengapa saya mengatakan tak perlu belajar dari kemenangan Trump. Sebab, dengan sistem pemilu suara terbanyak seperti di Indonesia maka Trump sebenarnya bukanlah pemenang yang sesungguhnya.
Hari ini, rakyat AS terutama para pendukung Clinton baru menyadari betapa menyakitkannya pilihan sistem itu.
Cara Trump berkampanye juga sesungguhnya tak bisa dijadikan contoh jika itu dilakukan dalam konteks perebutan suara di Indonesia. Tindakan, ucapan dan perbuatan-perbuatannya selama kampanye sesungguhnya bisa membuat seorang calon terpuruk jika itu dipakai sebagai strategi kampanye di Indonesia.
Dalam kampanyenya Trump banyak menyebarkan kebencian seperti akan melarang ummat Islam masuk Amerika atau akan membuat tembok tinggi di sepanjang perbatasan dengan Mexico untuk meredam penyelundupan. Itu tentu akan semakin menebalkan kebencian pemilih kepadanya.
Perbuatan dan tindakannya selama kampanye juga tak bisa dicontoh. Bagaimana mau dijadikan contoh jika meski saat berkampanye Trump selalu mempertontonkan perbuatan tak pantas terhadap banyak perempuan.
Budaya politik kita berbeda dengan Amerikka Serikat. Etika politik kita juga masih lebih bermoral daripada Amerika Serikat. Maka, tak perlu ada yang dipelajari dari kemenangan Trump. (*****)