BONE, Bugiswarta.com -- Bakal calon Gubernur Sulsel Abdul Rivai Ras (ARR) membuktikan eksistensinya hingga ke luar negeri. Dalam pertemuan tahunan yang ke-29 Internasional Military Operations and Law Conference di Vancouver British Columbia, Kanada, yang belangsung 16-19 Mei 2016, putra Bone itu menjelaskan tentang pentingnya Ketahanan Regional Asia Tenggara.
Dalam kegiatan Selasa (17/5/2016) waktu setempat, kegiatan dibuka oleh Admiral Harry Harris, Panglima U.S. Pacific Command dan dilanjutkan presentasi oleh Dr James Kraska, profesor dari Stockton Center for the Study of International Law, U.S. National War College.
Selanjutnya dalam pertemuan ini, Rivai Ras menempatkan diri sebagai pembicara penting yang mewakili Asia Tenggara tentang perkembangan keamanan dan dinamika politik pertahanan di Asia Tenggara.
Konferensi ini dihadiri oleh kurang lebih 150 peserta dari 40 negara, yang didominasi dari perwakilan negara-negara pantai dan pengguna laut di dunia. Isu-isu sentral yang muncul berkisar pada Masalah Laut Tiongkok Selatan, dan peran Tiongkok dalam melancarkan kekuatan para militer maritim atau maritime militiar yang tidak sesuai dengan hukum maritim internasional.
"Tiongkok dinilai banyak melakukan pelanggaran di laut, khususnya dalam melakukan pelayaran di kawasan Asia Timur maupun di Asia Tenggara. Tiongkok juga dinilai banyak menggerakkan kapal sipil yang notabene milik pemerintah yang beroperasi di wilayah rawan konflik termasuk wilayah perairan Indonesia," papar Rivai Ras.
Masih segar dalam ingatan ketika kapal ikan Tiongkok melintasi dan memasuki perairan Natuna pada 2013 lalu, termasuk melakukan pencurian ikan di kawasan tersebut yang dilakukan oleh FLE YZ 310. Isu ini kemudian dielaborasi lebih lanjut karena berkaitan dengan materi yang disampaikan oleh Pakar Pertahanan dan Kemaritiman itu.
Sesungguhnya, lanjut Rivai Ras, kelemahan mendasar dalam mengembangkan keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara, terletak pada belum adanya kesepakatan akan pentingnya aturan pelibatan regional atau Regional Rule of Engagement. Termasuk norma regional dalam mengatasi kepentingan keamanan bersama.
"Masing-masing negara juga cenderung mengembangkan aturan sendiri dalam mengatasi wilayah perairannya. Karena itu ke depan untuk memperkuat Ketahanan Regional Asia Tenggara, dibutuhkan komitmen dan kerangka kerja sama maritim yang merujuk pada rezim keamanan maritim internasional," kata pendiri Universitas Pertahanan (Unhan) itu.
Sejumlah kesepakatan maritim, tambah Rivai, sifatnya berlaku parsial karena tidak semua negara ikut meratifikasi konvensi itu. Untuk mengatasi itu, Rivai menyampaikan pentingnya Policy, Mechanism and Procedure (PMP) di kawasan untuk menjawab ancaman dan tantangan keamanan maritim regional.
Kebijakan itu, tambah Rivai, harus saling mengakomodasi dan mengadaptasi kebijakan domestik masing-masing negara agar mempunyai kesamaan tindak. Begitupula ketika bicara soal mekanisme, harus melihat dari sisi pendekatan yang harus ditempuh dalam penegakan kedaulatan dan hukum, misalnya berkaitan dengan mekanisme pencegahan dan penanganan konflik di kawasan berbasis ASEAN Centrality.
"Demikian halnya tentu kita butuh prosedur yang tepat, agar semua pihak mempunyai tahapan yang sama dalam mengeksekusi secara taktis pelanggaran wilayah ketika terjadi insiden atau tindak kejahatan lintas negara di wilayah perairan kita," kunci mantan Staf Khusus Sekretariat Militer Presiden SBY ini.
(rilis)