Penulis : Uswatun Hasanah Junaid Mahasiswa STAIN Palopo |
Sambunga, Baca Juga : Cerpen : Cinta Disinari Sunrise III
“Senja disore hari menghangatkan raga, angin berhemus menembus hingga kerongga-rongga serat kain menemaniku duduk di pantai ini. Aku sebagai wanita yang lemah tak berdaya tanpa cinta hanya mampu berikhtiar untuk bangkit dikala masalah datang silih berganti. Hanya Allah tempat bergantung disegala situasi dan kondisi, kini hanay cinta Allah yang bisa membangkitkan giroh-girohku dalam meniti kehidupan ini. Dunia belum berakhir bila aku nantinya harus kehilangan Junaid dan langit tidak akan runtuh karena menertawakan kemalanganku. Takkan hilang sebuah kehormatan jika memang akhirnya Junaid tidak ditakdirkan untukku... Ya Khaliq, bantulah daku berdiri jika aku mulai terjatuh dan bangkitkanlah daku jika aku telah tersungkur tak berdaya...”
(NES & HALWAH BURHAN)
Hari-hari Halwah lewati berbeda dai hari biasanya, kenaikan pangkat menjadi seorang manager disalah satu perusahaan swasta didaerah tempat ia tinggal menambah daftar kesibukannya, mulai dari ketemu para pelanggan, rapat dengan rekan-rekan dikantor, keluar kota maupun negeri membawa misi perusahaan, DLL. Disamping berprofesi sebagai manager dia juga sibuk dengan bisnis konveksinya yang ia beri nama PENA HIJAU GRAFIKA dengan dibantu orang tuanya dan beberapa karyawannya.
Sejak memperoleh gelar S-1 selain sebagai anak, dia juga sebagai tulang punggung keluarganya meski dia tidak terlahir sebagai anak pertama tapi profesi, kesibukan serta gaji yang ia peroleh sudah bisa menghidupi keempat saudaranya dan kedua orang tuanya. Semenjak duduk dibangku perkuliahan dia memang telah mandiri dari orang tuanya, kalau pun ia mendapat kiriman atau terpaksa harus meminta keorang tuanya itu ia anggap sebagai hutang yang harus dibayar. Ia mampu menjadikan sebuah tantangan menjadi sebuah peluang, memanfaatkan waktu senggang sebagai ladang rejeki yang harus dijemput bukan untuk dipelototi, meski kadang keadaan fisik membuatnya kehilangan kepercayaan diri hingga kini hal itu masih tetap menghantui.
“asal kamu tahu Wah, aku sangat mengingikanmu menjadi Hawaku, aku sangat mengagumimu dari dulu hingga kini, bahkan ketika masih SD kamulah cinta monyetku meski sering kali aku memanggimu dengan monyetku, tapi dalam hati sungguh kamulah monyet cantikku” gumam Burhan didalam hati.
Malam makin larut menunjukkan sudah jam sebelas, Halwah yang sudah kelelahan berhadapan dengan layar elektronik bertombol berukuran 5 inci membuat matanya kelelahan sendiri meski sedari tadi Burhan menyuruhnya untuk istirahat tapi dasar memang watak Halwah yang keras makin dilarang makin ia melakukanya, Burhan terpaksa harus mengalah.
“tante, om, saya pamit dulu, ass...”
“eeeehhh...koq mau pamit sih, tidak niat untuk menginap disini? Ayah Halwah memotong salam Burhan.
“oohhh gak usah om, lagian papa lagi keluar kota dan tidak ada yang temani mama di rumah”
“aahh siapa bilang mama kamu sendirian di rumah, ada mbok Surti koq disana”
“ehehehe... tapi saya tidak bilang kemama tadi kalau saya mau nginap paman”
“aaalaahh...kamu tenang saja, sini tante yang telepon mama kamu, beres kan?” ibu Halwah langsung menyela alasan Burhan.
“ehehehe... lain kali sajalah tante, lagi pula inikan baru pertama kalinya Burhan pulang sangat larut tanpa bilang kemama tadi, saya takut nanti mama khawatir”
“iya deeeehhhh yang anak mama...!!!!” suara Halwah mengejutkan Burahan yang tiba-tiba juga menyela perbincangan Burhan dengan orang tuanya.
“ya sudah kalau begitu salam saja sama mama kamu nak, hati-hati dijalan dan jangan lupa kalau lewat didepan warung ibu Sraye yang dipojok sana, mobilnya ditancep yah”
“ehehhehe...iya paman, Burhan akan hati-hati”sambil mencium tangan kedua orang tua Halwah
Ketika hendak melagkahkan kaki keluar, tiba-tiba Burhan sadar akan perkataan ayah Halwah yang bait terakhir.
“eeehhh ngomong-ngomong, ada apa sih didepan warung sana paman? Kenapa Burhan harus tancap gas pas didepan warung itu?”
“yyaahhh... supaya kamu gak tertimpa buah kelapa yang ada disamping warungnya, hahahahaha”
“aaaahhhh...paman ini, kirain ada begal disana ternyata paman ngajak aku bercanda lagi. Ya sudah kalau begitu saya pamit untuk kedua kalinya lagi paman. Assalamu’alaikum”
“wa’alaikum salam”
*******
“allaahumma sayyibannafii’an”
Pagi yang mendung menyapa Halwah dijendela kamar yang sederhana, gerimis membasahi wajahnya menyentuh qolbunya yang tidak lagi gersang bagai padang yang tandus, apa yang ia miliki kini merupakan anugerah yang tidak henti-hentinya untuk disyukuri, hingga benarlah perkataan gurunya yang selalu berpesan akan mensyukuri nikmat.
“eeeeehhhh..kamu ngajar disini?”
“iya pak”
“hahahahha...gimana kabar kamu nak?”
“alhamdulillah kabar baik pak, bapak sendiri bagaimana?”
“alhamdulillah sama, oyah kapan kamu balik dari India?”
“sekitar seminggu yang lalu pak”
“ooohhh sudah lama yah rupanya”
“eheheh... begitulah pak, maaf tidak sempat beritahu bapak sebelumnya”
“aahhh gak apa-apa koq nak, yang penting kan kamu sekarang sudah ketemu dengan bapak. Oyah, bapak kesana dulu yah, masih ada kelas bapak disana”
“hehehhe..iya pak, saya juga ada kelas”
Dosen yang selama ini tempat Halwa berbagi curahan hati tidak menyangka akan ketemu seseorang yang selama ini telah merisaukan hati Halwah, ia berencana akan memberikan kabar ini ke Halwah secepatnya.
“hhhaaaatcchhiiinnkkk....haaaaatchhiiink....hhhaatcchhiiinnkkk...”
“kamu yakin mau ke kantor nak?”
“iya bu, Halwah harus ke kantor. Soalnya tadi Halwah sudah janji sama bos kalau Halwah akan mewakili dia memimpin rapat hari ini di kantor”
“kalau begitu minum teh hangat dulu ini nak biar badan kamu agak mendingan dan biarkan kamu diantar ayah ke kantor”
“iya bu”
Kali ini Halwah tidak bisa melawan nasihat ibunya karena kondisinya yang memang sedang setengah sehat. Ketika diperjalanan menuju kantor, tiba-tiba Halwah merasakan jantungnya berdebar kencang tidak seperti biasanya. Dia melihat sesosok pemuda yang sangat tidak asing lagi buatnya.
“bukankah itu Junaid?”
Dia langsung membuka jendela mobilnya lantas memanggil nama Junaid. Berulang kali Halwah berteriak namun entah tidak didengar atau disengaja, Junaid enggan untuk menoleh hingga lampu hijau memisahkan kendaraan mereka. Halwah mencoba mengubungi nomor lama Junaid namun tidak aktif hingga berulang kali dia mencoba namun gagal.
Sesampainya di kantor, Halwah mencoba menenangkan diri berusaha untuk tidak terlihat sakit, kecewa, senang dan tak karuan. Dia mencoba berbaik sangka tentang apa yang ia lihat di lampu merah tadi.
“hhhmmm...mungkin ia tidak dengar, makanya ia tidak menoleh ke arahku. Kamu tidak boleh berburuk sangka Halwah”
Langit sungguh tidak bersahabat di hari itu, hujan terus mengguyuri bumi selama seharian 24 jam. Untuk yang kedua kalinya Halwah melihat Junaid keluar dari pusat perbelanjaan bersama seorang wanita yang sudah tidak muda lagi, Halwah yakin itu adalah ibu Junaid. Awalnya Halwah berniat menyapa Junaid namun niat itu diurungkan karena ia belum siap untuk bertemu ibu Junaid.
“Assalamu’alaikum..eeeehhhh,,??”
“wa’alaikum salam nak, ayo masuk. Dari tadi pak Sudiro menunggumu”
“lohhh, bapak koq sampai repot-repot kesini? Kan bapak bisa telepon atau sms saya untuk datang ke kampus menemui bapak, kalau begini kan saya yang merasa tidak enak dan sangat tidak sopan ke bapak”
“kamu tidak usah berkata seperti itu nak, lagian bapak kesini atas kemaua bapak koq bukan karena paksaan”
“ya udah pak, saya bikinkan air panas dulu yah?”
Sembari melangkahkan kaki ke dapur, perasaan Halwah carut marut tidak biasanya pak Sudiro datang ke rumah tanpa konfirmasi dulu ke dia. Pasti ada hal yang sangat penting yang ingin dibicarakannya.
“ayo minum pak”
“eeehhh,,,papa pergi ke toko dulu yah Halwah, papa langsung tinggalin toko tadi karena kaget melihat pak Sudiro datang kesini”
“iya pa”
Suasana diruang tamu menjadi hening tanpa suara kalaupun ada kotoran cicak yang jatuh ke lantai mungkin akan terdengar disore hari itu.
“kabarmu bagaimana nak? Kamu baik-baik saja kan?”
“ahhh,, bapak bertanya seperti sedang menginvestigasi. Dada Halwah sampai berdenyut dak karuan, yaaahhh seperti yang bapak lihat aku sampai hari ini masih tetap bisa berjalan, duduk dan berdiri alhamdulillah Halwah sehat pak”
“alhamdulillah nak...”(wajah bingung terlihat diwajahnya)
“kalau ada yang ingin bapak sampaikan, sampaikan saja pak. Saya tahu koq pasti ada hal yang penting yang ingin bapak sampaikan ke saya hingga membawa langkah kaki bapak ke rumah saya”
“bapak akan cerita asal kamu janji tidak akan menyesel mendengar kabar ini”
“insyAllah pak saya akan tabah menerima apapun kabar itu”
“mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengatakan yang sesungguhnya ke kamu nak, waktu bapak ketemu dengan junaid beberapa waktu lalu sebenarnya bapak ingin langsung mengabari kamu tapi junaid melarang bapak katanya biarkan dia sendiri yang datang ke rumahmu memberi kejutan, tapi sampai hari ini bapak belum memndengar kabar kalau dia datang ke rumahmu”
“oooohhh,,, saya sudah tahu pak kalau tentang kedatangan junaid, karena saya pernah elihat dia dijalan ketika saya memanggilnya berkali-kali dia tidak menoleh mungkin dia tidak dengar suara saya dan memang dia belum pernah kesini sih”
“bukan kedatangannya ke rumah ini yang urgent nak, tapi ada sesuatu yang dia ingin sampaikan dan hal inilah yang ingin sekali bapak sampaikan sebelum kamu terlalu berharap banyak ke dia”
Perasaan Halwah makin tidak karuan mendengar perkataan tersebut.
“hhhhhmmmm...memangnya ada apa sih sebenarnya antara saya dan junaid pak? Apa yang hendak junaid sampaikan ke saya hingga membuat bapak harus menyampaikan kabar ini secepat mugkin? Jika junaid telah berjanji ke bapak untuk menceritakannya sendiri ke saya ya sudah biar saya tunggu sampai dia datang sendiri yang cerita”
“hhhmmm...tapi bagaimana ya nak, sebenarnya bapak tidak tega jika berita ini kamu dengar secara langsung dari Junaid, tapi....”
“tapi sebaiknya saya mau dengar langsung dari dia saja pak. insyAllah saya siap mendengar apa pun ceritanya”
“insyAllah nak, bapak pun akan selalu mendo’akanmu nak, semoga Allah senantiasa merahmatimu nak”
“aamiin pak”
Sore semakin larut tak terasa, cerita panjang lebar di rumah Halwah membuat pak Sudiro lain kali menyambung lagi cerita yang terputus sore itu. Hingga malam hari tiba, selepas sholat maghrib ketika lantunan ayat suci Alqur’an terdengar didalam kamar Halwah tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu.
“biar saya yang membukanya ibu”
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikum salam, ayo silahkan masuk kak...”
Terasa kaku Halwah menyebut nama lelaki yang ada didepannya kini, ia semakin teringat akan kata-kata pak Sudiro tadi sore.
“bagaimana kabarmu dik?”
“alhamdulillah baik seperti yang terlihat sekarang, kakak sendiri bagaimana?”
“alhamdulillah sama”
Lama suara obrolan tak terdengar setelah kata “sama” diucapkan Junaid, Halwah tidak tahu kata-kata apa lagi yang akan diucapkan untuk memecah kebekuan dimalam itu.
“ayo silahkan diminum kak”
“iya”
“oya, bagaimana studinya di India? Saya dengar dari pak Sudiro katanya sudah selesai yah bulan lalu?”
“oohh iyyah, sebenarnya bukan bulan lalu dik, bulan lalu itu kedatangan saya di Indonesia”
“ooww begitu..eeheheh berarti keliru ya tadi”
“eheheheh tidak apa-apa. Hhmm...”
“kenapa? Sepertinya ada hal yang ingin disampaikan ke saya kak? Dari tadi Hawah perhatikan kayaknya ada yang mengganjal dipikiran”
“hhhmmm...yah, sebenarnya ada hal penting yang ingin saya sampaikan malam ini dik, tapi saya harap kamu tidak apa-apa setelah mendengar kabar ini”.
“insyAllah saya akan legowo mendengar kabar itu kak, silahkanlah cerita dan mungkin dari cerita itu kita bisa menemukan solusi. Iya kan?
“ketika saya bertemu dengan dik Halwah untuk pertama kalinya hingga detik-detik kepergian saya ke India, sejujurnya saya telah melihat pelaminan itu dari dekat, aku mendengar musik pengantin itu derdengar dari dekat, aku telah berjanji didalm hati bahwa sepulang dari penyelesaian studiku aku akan meminangmu. Namun, ketika 2 hari menjelang wisudaku sebelum kusampaikan niatku kepada kedua orangtuaku ternyata mereka telah memperkenalkan aku dengan seorang wanita yang ternyata wanita itu juga sedang melanjutkan pendidikan s2nya di India hanya saja saya yang lebih dulu ke India”
Halwah tertunduk diam tanpa kata.
“halwah, apa kamu baik-baik saja? Saya minta maaf jika...”
“(sambil tersenyum) saya tidak apa-apa kak, saya tadi tertunduk untuk menenangkan pikiran agar tidak terpancing suasana, kakak tidak usah minta maaf. Pun jika saya marah setelah mendengar kabar yang tadi, buat apa? Toh marah itu tidak akan menyelesaikan masalah kan?”
“jadi?? Kamu tidak marah apa yang aku ucapkan tadi dik? Kamu tidak kecewa atau kamu tidak ingin bertanya sesuatu? Kamu tidak penasaran bagaimana jawabanku terhadap keputusan orangtuaku yang telah menjodohkanku? Siapa gadis yang dijodohkan kepadaku? Dan lain-lain?”
“tidak usah kak, saya sudah tahu jawabannya dari raut wajah yang saya lihat dari tadi. Betapa borosnya waktu itu terbuang dengan percuma jika saya menanyakan sederet tawaran pertanyaan yang kakak ucapkan tadi”
“kenapa kamu terlalu berserah diri dengan keadaan, Halwah? Apa kamu tidak mencintaiku? Apa kamu tidak ingin menjadikanku orang yang selalu kau panggil dengan kasih sayang?”
Halwah terdiam sambil menunduk, yang terdengar hanyalah suara isak tangis dan air mata yang membasahi jilbab Halwah.
“jangan buat aku kebingungan sendiri dik, aku mencintaimu jauh sebelum aku diperkenalkan gadis itu. Bicaralah dan katakan apa yang ingin kau katakan sekarang dik. Aku akan turuti apa yang akan kau ucapkan bahkan jika dikau menyuruhku untuk meninggalkan gadis itu maka akan aku tolak perjodohan itu dik” (sambil mengusap air matanya)
“cukup kak, cukup..!! jangan bicara lagi! Dari tadi aku menangis bukan karena kabar sedih yang engkau bawa kepadaku, tapi yang aku tangisi adalah gadis itu. Apakah kakak setelah menikah dengannya mampukah kakak mencintainya seperti kakak mencintaiku? Jangn menikahi gadis itu hanya karena keterpaksaan dari orang tua atau karena ingin mendapat gelar anak penurut dari orang tua, tetapi yang terpenting ialah silahkan kakak sholat istikharah dulu, jika satu kali kakak melalukannya belum mendapatkan jawabannya, maka lakukanlah hingga berulang-ulang seperti yang disarankan oleh beberapa ulama. Jadi saya mohon, silahkan tinggalkan rumah saya dan semoga Allah memberikan jawaban yang terbaik kepada kita berdua”
“Dear NES
Kini kamu bisa lihat airmataku yang membasahi dirimu, mataku tidak dapat berhenti mengeluarkan air mata itu, kau lihat mataku yang bengkak. Mungkin inilah jawaban dari semua kekhwatiran yang sering aku katakan kepadamu. Berbulan-bulan aku memimpikan tandu pengantar, hari dimana aku menjadi mempelai wanita diiringi senyum darinya dari kejauhan dan mengulurkan tangan untukku, setiap langkah dan mata hanya tertuju kepada kamu berdua,kami menjadi pangeran dan permaisuri diatas singgasana bunga-bunga yang bertebaran dihari itu. Namun semuanya sirna ketika malam ini kudengar kabar itu. Aku hanya berharap jika nantinya Allah memilihkan gadis itu untuknya agar gadis itu mampu mencintai dia lebih dari aku mencintainya, dan menjadi wanita terbaik dimatanya”.
***
“alhamdulillah Allah memberikan jawaban terbaik untuk dia, terima kasih ya Allah engkaulah sang penasihat terbaik” ucap Halwah ketika menerima email dari Junaid.
“entar undangannya nyusul dik”
“siip kak”
“oya, jangan lupa datang ya dan aku perkenalkan ke calon istriku dan kelak jika aku memiliki anak aku akan menceritakan bahwa dulu Ayah pernah jatuh cinta kepada seorang gadis yang jutek dan cerewet pada saat pandang pertama dan ketika aku mulai mencitainya ternyata dia lebih indah dari permata”
“ehehehhe..insyAllah kak, dan aku pun juga akan menceritakan hal yang sama kepada anak-anakku kelak bahwa dulu pernah ibu jatuh cinta kepada seorang asisten dosen yang sok kenal sok nempel padahal sebenarnya memang ibu tidak kenal, dia cerdas dan penyayang”
“dan sebagai kenang-kenangan akan saya berikan nama adik kepada anak pertamaku”
“insyAllah saya akan melakukan hal yang sama pula kak”
“terima kasih atas selama ini yang telah kau berikan padaku dik, aku tidak pernah melupakan semua kenangan kita. Saya memohon maah jika selama ini aku memiliki salah kepada adik dan semoga adik dapat menyusulku secepatnya. Aamiin”
“aamiin... insyAllah, do’akan ya kak?”
“insyAllah dik, wassalam”
“cinta yang kita miliki saat ini adalah cinta yang TUNGGAL..
Meski kita tahu bahwa disekeliling kita ada banyak orang yang mencintai kita,
Namun jangan pernah lupa bahwa kita memiliki KEKASIH yang
Mungkin dikeseharian kita sering diabaikan bahkan sampai dilupakan..
Dialah ALLAH AZZA WA JALLA...
Jangan pernah terlalu berharap terhadap seseorang..
Jangan terlalu mencitai seseorang, karena boleh jadi dialah orang yang
Nantinya akan kita benci dan jang pula terlalu
Membenci seseorang karena boleh jadi suatu saat nanti
Orang itulah yang akan kita cintai”
(*******)
Publish Usman Al-Khair