(Ditulis oleh: Nurhayati, SPd. & Dituturkan oleh: Umar Padlan)
Sambungan-Beberapa tahun kemudian, seiring dengan pertumbuhan ayamnya yang kian lama semakin besar itu, putri Ibesse Timo pun semakin tumbuh dewasa menjadi seorang gadis. Kehadiran putrinya yang juga berparas cantik jelita membuat hidup putri Arung Tete itu tenteram, kendi belum diketahui siapa lelaki yang merupakan ayah dari putrinya tersebut. Bert ahun-tahun mereka berdua hidup di hutan belantara itu, namun tak seorangpun yang mengetahui keberadaannya, sekalipun tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah Kerajaan kecil yang hanya diantarai oleh dua bukit saja. Kerajaan tersebut bernama kerajaan Bulu Matanre.
Seperti halnya kerajaan Tete, kerajaan Bulu Matanre juga diperintah oleh seorang wali yang dukenal To manurung E ri Bulu Matanre atau yang digelar dengan nama Petta Bulu Matanre. Ia memiliki beberapa orang anak, seorang Putra beliau yang bernama Baso Paranrengi pernah mengalami peristiwa yang sama persis seperti yang juga pernah dialami oleh putri Arung Tete. Baso Paranrengi mengalami perasaan intim layaknya hubungan suami istri disaat terjadinya Guntur yang amat dahsyat pada usia yang memang sudah beranjak dewasa. Namun peristiwa tersebut dianggap hal yang biasa sehingga kejadian tersebut dibiarkan berlalu begitu saja. Baso Paranrengi memiliki kegemaran berburu rusa, sehingga hari-harinya biasa di manfaatkan pergi kehutan untuk berburu.
Suatu hari Baso Paranrengi di temani oleh pengawalnya yang bernama La Salatu pergi berburu di hutan dekat bukit yang didiami oleh I Besse Timo beserta putrinya. Pada saat mereka berdua Istirahat di suatu bukit, la Baso Paranrengi memperhatikan anjing Pemburunya si Hitam dan si Putih dengan seksama yang baru saja datang dengan perut yang kenyang sementara belum mendapatkan tangkapan hewan buruan seekor pung. Melihat keanehan tersebut, ia pun menyuruh La Salatu (pengawal pribadinya) di suatu ketinggian untuk berdiri “toli’ ko Salatu” mengamati apakah di sekitar kawasan perburuan kita ada orang yang tinggal. Di bukit tempat pengawalnya berdiri itulah kemudian di namai bulu Latoli ( gunung berdiri). Sesaat kemudian pengawalnya itu melaporkan bahwasanya disebuah puncak bukit terdapat asap api. Maka bergegaslah Putra Petta Bulu Matanre meninggalkan Gunung Latoli menuju ke puncak bukit dimana asap api itu berasal dengan maksud mengetahui siapa gerangan yang tinggal di sana.
Tatkala ia sampai di bukit tempat suber asap berasal, dia melihat sebuah bangunan tempat tinggal berupa gubuk kecil. Untuk memenuhi rasa penasarannya dia pun segera mendekati gubuk tersebut, dia berdiri tepat di depan gubuk kecil namun tertata rapi itu sambil mengamati siapa gerangan pemiliknya. Tiba –tiba dua orang keluar bersamaan dari dalam gubuk sederhana tersebut bermaksud hendak bersantai seperti biasanya di halaman gubuknya. Baso Paranrengi yang sudah berdiri sejak tadi menyaksikan dengan jelas iringan kedua orang tersebut keluar dari gubuk beratap rumpia tersebut. Betapa terpananya melihat pemandangan indah dua orang gadis jelita cantik nan rupawan itu. Melihat kecantikan kedua wanita yang ada di hadapannya, Baso Paranrengi tiba-tiba jatuh pinsan tak sadarkan diri. Pengawal yang baru kali pertama itu melihat tuannya pinsang tak bisa berbuat apa-apa kecuali meminta pertolongan kepada kedua wanita cantik tersebut. Dengan segera I Besse Timo segera mengambil segayuh air lalu mencelupkan ujung rambutnya kemudian memercikkan ke muka Baso Paranrengi. Seketika itu pula Putra Petta Bulu Matanre tersebut tersadarkan dan berniat untuk memperistrikan wanita cantik yang telah mengobatinya itu. Dari peristiwa inilah sehingga orang bugis mengenal “pangeppi weluwa” memercikkan ujung rambut ke muka pasien sebagai tehnik pengobatan orang yang sedang pinsang.
Ketika Baso Paranrengi kembali ke rumah, ia langsung mengurung diri dengan membungkus sekujur tubuhnya dengan sarung. Melihat gerak gerik putranya yang tidak biasanya itu, Petta Bulu Matanre bertanya prihal keanehan sikap putranya itu kepada La Salatu sang Pengawal. Pengawalnya itu menceritakan kejadian yang dialami putranya selama dalam perburuan. Dia menceritakan prihal pertemuan antara Baso Paranrengi dengan dua wanita cantik yang tinggal di sekitar hutan tempat perburuannya. Mendengar cerita pengawal tersebut, Petta Bulu Matanre selaku orang tua segera memahami perasaan putranya tersebut dan mengatakan sesuatu kepadanya “ oto’no Baso ulao maddutakko baja” bangunlah Baso, besok ayah akan pergi melamar wanita yang telah menawan hatimu.
Alhasil keesokan harinya Petta Bulu Matanre pergi melamar wanita tersebut. Sesampai di gubuk wanita itu, beliau mengutarakan maksud kedatangannya yang hendak melamar. Namun I Besse Timo pada saat itu tidak mempunyai Wali Nikah sehingga tidak langsung menerima lamaran tersebut. Ia kemudian mengisyaratkan Petta Bulu Matanre untuk pergi dulu menemui seorang wali disebuah gunung sebelah selatan bukit Bittawang.
Tanpa menunggu waktu lagi, Petta Bulu Matanre langsung berangkat ke gunung yang dimaksud. Ia lalu menjelajah gunung tersebut demi menemukan wali yang dimaksud. Pencarian dilakukan mencakup seluruh kawasan dipegunungan tersebut, namun tidak juga ketemu. Usaha untuk menemukan Wali yang dimaksud telah menguras energy dan waktu yang luarbiasa lama hingga Petta Bulu Matanre merasa kelelahan (poso) akibat perjalanan yang menanjak,menurun yang dilaluinya. Akhirnya Petta Bulu Matanre tidak mampu lagi melanjutkan pencarian akibat kelelahan yang teramat sangat itu. Disinilah asal mula nama Gunung Laposoyang berarti Gunung yang melelahkan dengan ketinggian 100 kdpl di sematkan.
Dalam keadaan Petta Bulu Matanre kelelahan dan hamper berputus asa tiba-tiba muncul seseorang yang mengaku sebagai Wali dari I Besse Timo. Petta Bulu Matanre pun segera mengutarakan maksudnya . Akhirnya Wali yang senang bertapa di Gunung itu yang ternyata adalah jelmaan To Manurung E Tellang Kere Ri Tete bersedia untuk datang menjadi wali nikah terhadap wanita yang dipinang oleh Putra Petta Bulu Matanre tersebut.
Pada hari yang telah disepakati keduanya, Petta Bulu Matanre beserta Putranya datang kembali ke Gubuk Bukit Kandiawan. Di gubuk itu telah hadir pula Wali yang merupakan Ayah dari I Besse Timo. Pada saat pembicaraan antara kedua pihak keluarga berlangsung, Baso Paranrengi di persilahkan memilih salah seorang dari kedua wanita cantik itu sebagai calon istri. Tanpa mengetahui status kedua wanita yang serupa dengan anak kembar itu, pilhannya jatuh pada I Besse Timo yang sudah berstatus sebagai ibu dari I Besse Kadiu. Mereka pun dinikahkan.
Setelah keduanya sudah resmi menjadi suami istri, mereka hidup rukun damai di tempat ini. Suatu hari mereka menceritakan kisah remaja mereka masing-masing. Sampai pada cerita yang dialami keduanya ketika terjadi ledakan Guntur yang amat dahsyat. Keduanya menceritakan apa yang dirasakan pada kejadian tersebut. Baik I Besse Timo maupun Baco Paranrengi mengungkapkan bahwa perasaan yang dirasakan pada saat yang bersamaan persis sama dengan perasaan orgasme layaknya berhubungan suami istri. Barulah I Besse Timo mengetahui bahwa sesungguhnya Ayah dari putrinya I Besse Kadiu tidak lain adalah Baso Paranrengi sendiri.
Baca juga : http://www.bugiswarta.com/2015/05/asal-usul-umpungeng-soppeng-i.html
Dipublish La Barakka
Sambungan-Beberapa tahun kemudian, seiring dengan pertumbuhan ayamnya yang kian lama semakin besar itu, putri Ibesse Timo pun semakin tumbuh dewasa menjadi seorang gadis. Kehadiran putrinya yang juga berparas cantik jelita membuat hidup putri Arung Tete itu tenteram, kendi belum diketahui siapa lelaki yang merupakan ayah dari putrinya tersebut. Bert ahun-tahun mereka berdua hidup di hutan belantara itu, namun tak seorangpun yang mengetahui keberadaannya, sekalipun tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah Kerajaan kecil yang hanya diantarai oleh dua bukit saja. Kerajaan tersebut bernama kerajaan Bulu Matanre.
Seperti halnya kerajaan Tete, kerajaan Bulu Matanre juga diperintah oleh seorang wali yang dukenal To manurung E ri Bulu Matanre atau yang digelar dengan nama Petta Bulu Matanre. Ia memiliki beberapa orang anak, seorang Putra beliau yang bernama Baso Paranrengi pernah mengalami peristiwa yang sama persis seperti yang juga pernah dialami oleh putri Arung Tete. Baso Paranrengi mengalami perasaan intim layaknya hubungan suami istri disaat terjadinya Guntur yang amat dahsyat pada usia yang memang sudah beranjak dewasa. Namun peristiwa tersebut dianggap hal yang biasa sehingga kejadian tersebut dibiarkan berlalu begitu saja. Baso Paranrengi memiliki kegemaran berburu rusa, sehingga hari-harinya biasa di manfaatkan pergi kehutan untuk berburu.
Suatu hari Baso Paranrengi di temani oleh pengawalnya yang bernama La Salatu pergi berburu di hutan dekat bukit yang didiami oleh I Besse Timo beserta putrinya. Pada saat mereka berdua Istirahat di suatu bukit, la Baso Paranrengi memperhatikan anjing Pemburunya si Hitam dan si Putih dengan seksama yang baru saja datang dengan perut yang kenyang sementara belum mendapatkan tangkapan hewan buruan seekor pung. Melihat keanehan tersebut, ia pun menyuruh La Salatu (pengawal pribadinya) di suatu ketinggian untuk berdiri “toli’ ko Salatu” mengamati apakah di sekitar kawasan perburuan kita ada orang yang tinggal. Di bukit tempat pengawalnya berdiri itulah kemudian di namai bulu Latoli ( gunung berdiri). Sesaat kemudian pengawalnya itu melaporkan bahwasanya disebuah puncak bukit terdapat asap api. Maka bergegaslah Putra Petta Bulu Matanre meninggalkan Gunung Latoli menuju ke puncak bukit dimana asap api itu berasal dengan maksud mengetahui siapa gerangan yang tinggal di sana.
Tatkala ia sampai di bukit tempat suber asap berasal, dia melihat sebuah bangunan tempat tinggal berupa gubuk kecil. Untuk memenuhi rasa penasarannya dia pun segera mendekati gubuk tersebut, dia berdiri tepat di depan gubuk kecil namun tertata rapi itu sambil mengamati siapa gerangan pemiliknya. Tiba –tiba dua orang keluar bersamaan dari dalam gubuk sederhana tersebut bermaksud hendak bersantai seperti biasanya di halaman gubuknya. Baso Paranrengi yang sudah berdiri sejak tadi menyaksikan dengan jelas iringan kedua orang tersebut keluar dari gubuk beratap rumpia tersebut. Betapa terpananya melihat pemandangan indah dua orang gadis jelita cantik nan rupawan itu. Melihat kecantikan kedua wanita yang ada di hadapannya, Baso Paranrengi tiba-tiba jatuh pinsan tak sadarkan diri. Pengawal yang baru kali pertama itu melihat tuannya pinsang tak bisa berbuat apa-apa kecuali meminta pertolongan kepada kedua wanita cantik tersebut. Dengan segera I Besse Timo segera mengambil segayuh air lalu mencelupkan ujung rambutnya kemudian memercikkan ke muka Baso Paranrengi. Seketika itu pula Putra Petta Bulu Matanre tersebut tersadarkan dan berniat untuk memperistrikan wanita cantik yang telah mengobatinya itu. Dari peristiwa inilah sehingga orang bugis mengenal “pangeppi weluwa” memercikkan ujung rambut ke muka pasien sebagai tehnik pengobatan orang yang sedang pinsang.
Ketika Baso Paranrengi kembali ke rumah, ia langsung mengurung diri dengan membungkus sekujur tubuhnya dengan sarung. Melihat gerak gerik putranya yang tidak biasanya itu, Petta Bulu Matanre bertanya prihal keanehan sikap putranya itu kepada La Salatu sang Pengawal. Pengawalnya itu menceritakan kejadian yang dialami putranya selama dalam perburuan. Dia menceritakan prihal pertemuan antara Baso Paranrengi dengan dua wanita cantik yang tinggal di sekitar hutan tempat perburuannya. Mendengar cerita pengawal tersebut, Petta Bulu Matanre selaku orang tua segera memahami perasaan putranya tersebut dan mengatakan sesuatu kepadanya “ oto’no Baso ulao maddutakko baja” bangunlah Baso, besok ayah akan pergi melamar wanita yang telah menawan hatimu.
Alhasil keesokan harinya Petta Bulu Matanre pergi melamar wanita tersebut. Sesampai di gubuk wanita itu, beliau mengutarakan maksud kedatangannya yang hendak melamar. Namun I Besse Timo pada saat itu tidak mempunyai Wali Nikah sehingga tidak langsung menerima lamaran tersebut. Ia kemudian mengisyaratkan Petta Bulu Matanre untuk pergi dulu menemui seorang wali disebuah gunung sebelah selatan bukit Bittawang.
Tanpa menunggu waktu lagi, Petta Bulu Matanre langsung berangkat ke gunung yang dimaksud. Ia lalu menjelajah gunung tersebut demi menemukan wali yang dimaksud. Pencarian dilakukan mencakup seluruh kawasan dipegunungan tersebut, namun tidak juga ketemu. Usaha untuk menemukan Wali yang dimaksud telah menguras energy dan waktu yang luarbiasa lama hingga Petta Bulu Matanre merasa kelelahan (poso) akibat perjalanan yang menanjak,menurun yang dilaluinya. Akhirnya Petta Bulu Matanre tidak mampu lagi melanjutkan pencarian akibat kelelahan yang teramat sangat itu. Disinilah asal mula nama Gunung Laposoyang berarti Gunung yang melelahkan dengan ketinggian 100 kdpl di sematkan.
Dalam keadaan Petta Bulu Matanre kelelahan dan hamper berputus asa tiba-tiba muncul seseorang yang mengaku sebagai Wali dari I Besse Timo. Petta Bulu Matanre pun segera mengutarakan maksudnya . Akhirnya Wali yang senang bertapa di Gunung itu yang ternyata adalah jelmaan To Manurung E Tellang Kere Ri Tete bersedia untuk datang menjadi wali nikah terhadap wanita yang dipinang oleh Putra Petta Bulu Matanre tersebut.
Pada hari yang telah disepakati keduanya, Petta Bulu Matanre beserta Putranya datang kembali ke Gubuk Bukit Kandiawan. Di gubuk itu telah hadir pula Wali yang merupakan Ayah dari I Besse Timo. Pada saat pembicaraan antara kedua pihak keluarga berlangsung, Baso Paranrengi di persilahkan memilih salah seorang dari kedua wanita cantik itu sebagai calon istri. Tanpa mengetahui status kedua wanita yang serupa dengan anak kembar itu, pilhannya jatuh pada I Besse Timo yang sudah berstatus sebagai ibu dari I Besse Kadiu. Mereka pun dinikahkan.
Setelah keduanya sudah resmi menjadi suami istri, mereka hidup rukun damai di tempat ini. Suatu hari mereka menceritakan kisah remaja mereka masing-masing. Sampai pada cerita yang dialami keduanya ketika terjadi ledakan Guntur yang amat dahsyat. Keduanya menceritakan apa yang dirasakan pada kejadian tersebut. Baik I Besse Timo maupun Baco Paranrengi mengungkapkan bahwa perasaan yang dirasakan pada saat yang bersamaan persis sama dengan perasaan orgasme layaknya berhubungan suami istri. Barulah I Besse Timo mengetahui bahwa sesungguhnya Ayah dari putrinya I Besse Kadiu tidak lain adalah Baso Paranrengi sendiri.
Baca juga : http://www.bugiswarta.com/2015/05/asal-usul-umpungeng-soppeng-i.html
Dipublish La Barakka