Penulis
Andi Hasdiansyah (mahasiswa pasca sarjana Universitas Negeri Yogyakarta)
|
Genealogi Cinta dan Kekejaman Tradisi
Cinta adalah hukum yang paling
tinggi. Pemiliknya adalah Tuhan dan dipinjamkan kepada seluruh manusia
untuk dijadikan sebagai pedoman dan sandaran dalam bertindak. Cinta
hidup di dalam hati, wajahnya akan kelihatan pada laku sapa kita dalam
kehidupan sehari-hari.
Karena keberadaanya sebagai hukum paling tinggi
yang berasal dari Tuhan, tentunya cinta itu sempurna (aksioma). Betapa
kuatnya, cinta mampu hidup dihati siapa saja dan tak mengenal suku, ras,
agama, strata sosial, apalagi cantik ataupun jelek.
Saya yakin cinta
memperlakukan semua manusia sama, mungkin kadarnya saja yang berbeda
tetapi pesannya satu yaitu "kebahagiaan". Lalu kenapa ada rasa sakit?
itu karena manusia memperlakukan cinta kepada manusia lain secara tidak
benar akhirnya, cinta memberi kita sanksi/hukuman berupa sakit hati
yang berkepanjangan. Saya tidak tahu pasti cara kerja cinta melahirkan
rasa sakit, yang jelas saya meyakininya sebagai hukuman atas perlakuan
kita terhadapnya. Perlakuan negatif manusia terhadap eksistensi cinta
berupa "kekangan".
Sebagai contoh, cinta yang hidup damai dalam hati dua
insan manusia biasanya dikekang ataupun dipenjarakan oleh perbedaan
kultur, agama, garis darah, prinsip, dan mitos-mitos orang tua. Tradisi
yang dijalani hari ini adalah konstruksi kultural dari zaman ke zaman.
Sudah banyak sejarah tercipta dan mencoba mendobrak tatanan kuno itu
namun, lagi-lagi hanya tinggal cerita haru dan inspirasi bagi pelaku
cinta hari ini. Pertanyaannya adalah mengapa cinta selalu dikaitkan
dengan kultural, agama, garis darah, prinsip, dan mitos-mitos dari orang
tua? Bukankan cinta itu berasal dari kultur tertentu, bukan dari agama
tertentu, maupunprinsip siapa, apalagi dari mitos orang tua tertententu.
Cinta adalah hal yang universal an tidak boleh dibatasi oleh apapun.
Yogyakarta, 30 desember 2014 (refleksi akhir tahun)