“apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian hanya sia-sia (tanpa ada maksud) dan mengira bahwa kalian tidak kembali kepada Kami ?!” (QS. Al-Mu’minun/23:115).
Ayat diatas merupakan salah satu penjelasan tenteng eksistensi tujuan penciptaan manusia dan penjelasan tentang tempat kembali kita yakni kepada Allah SWT. Dua pertanyaan diatas semestinnya menjadi bahan renungan kita bahwa kita diciptakan kemuka bumi memiliki tujuan dan dari ayat inilah kita mulai ingin mencari tahu mengapa kita diciptakan.
Allah menciptakan manusia lengkap dengan berbagai kelebihan “manusia adalah sebaik-baik ciptaan” itulah yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Sehingga Allah memberikan tugas yang mulia kepada manusia yakni menjadi Khalifah Allah di bumi ini (QS Al-Baqarah/2:30) yang bertugas memakmurkan bumi (QS. Hud/11:61). Untuk melaksanakan tugas kekhalifahan dengan baik maka tidak bisa dilakukan jika tidak didasarkan pada semangat pengabdian (ibadah) yang murni hanya karena Allah SWT semata. Untuk itulah Allah SWT Berfirman yang artinya “ tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku”(QS. Al-Dzariyat/51:56) (Lihat juga QS Al-Bayyinah/98:5).
Dengan beribadah kepada Allah maka manusia bisa menjadi manusia yang bertaqwa. Firman Allah SWT : “hai manusia, sembahlah (beribadalah) kepada tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”(QS. Al-Baqarah/2: 21). Sungguh sangat jelas bahwa taqwa merupakan syarat agar dapat melaksanakan tugas kekhalifaan dengan baik. Dengan taqwa juga manusia mampu memposisikan dirinya sebagai ‘abdullah (hamba Allah). Akan tetapi taqwa hanya dapat diraih dengan jalan beribadah kepada Allah SWT. Untuk menjadi orang yeng bertaqwa dan mapu menjalankan tugas di bumi hendaknya dimulai dengan berinbadah kepada Allah SWT, tentunya ibadah yang murni semata-mata karena Allah (tidak syirik) dan bersih dari perkara tahayyul, bid’ah dan khurafat.
Semua makhluk yang ada di alam semesta ini dicipta dan dipelihara (rububiyyatullah), dimiliki dan dikuasai secara mutlak olah Allah SWT (mulkiyyatullah). Firman Allah yang artinya “sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhan (Pencipta & Pemelihara)-mu, maka sembahlah Aku” (QS. Al-Anbiya’/21:92).
Karena Allah SWT yang menciptakan manusia tentu Dia-lah yang lebih tahu apa yang terbaik dan apa yang terburuk untuk manusia. Dan, supaya manusia bisa ber-taqwa (yakni: terpelihara hidupnya) maka hal yang terbaik bagi manusia menurut Sang Pencipta adalah ketika hidup manusia digunakan untuk beribadah hanya kepada-Nya dan hanya karena-Nya.
Kerena Allah yang mencipta, tentunya Allah jugalah yang mempunyai kepemilikan dan punguasaan terhadap apa yang Dicipta-Nya.”dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan”(QS. Ali Imran/3:109). Kita harus menyadari bahwa mau tidak mau, atau suka tidak suka semuanya pasti akan kembali kepada Allah SWT. Dalam Al-Qran dijelaskan “…kepada-Nya-lah berserah diri siapa saja yang ada di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepda Allahlah mereka dikembalikan”(QS. Ali Imran/3:83) (lihat juga QS. Hud/11:123). Sebagai insan yang memiliki akal dan ilmu tentunya sadar dengan posisi kita di dunia, Sehingga kita mampu mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya selama di dunia dan mampu mempertanggung jawabkan di akhirat kelak.
Namun perlu kita pahami bahwa ibadah bukan hanya melakukan ritual-ritual yang dikerjakan pada waktu-waktu tertentu, akan tetapi ibadah merupakan mendekatkan diri kepda Allah SWT dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta mengamalkan apa saja yang diperkenankan oleh-Nya (Himpunan Putusan Tarjih). Sedangkan ibadah menurut Ulama Fiqh, yaitu “apa yang dikerjakan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT dan mengharap pahala-Nya di Akhirat.”
Ibnu Taymiyah mengartikan ibadah sebagai puncak ketaatan dan ketundukan kepada Allah yang di dalamnya terdapat unsure cinta (al-hubb). Seseorang belum dikatakan beribadah kepada Allah kecuali bila ia mencintai Allah lebih dari cintanya kepada apapun dan siapapun juga. Ketaatan tanpa unsure cinta maka tidak bisa diartikan sebagai ibadah dalam arati yang sebenarnya. Dari sini pula dapat dikatakan bahwa akhir dari perasaan cinta yang sangat tinggi adalah penghambaan diri, sedangkan awalnya adalah ketergantungan