Menelusuri "Jejak 'Bissu PatappuloE Ri Bone -->
Cari Berita

Menelusuri "Jejak 'Bissu PatappuloE Ri Bone

Bone kota beradat yang menyimpan sejuta sejarah serta warisan budaya yang tak ternilai harganya. Ribuan tahun lalu, jaman dimana manusia masih menyembah Dewa, telah dikenal Bissu yang dianggap sebagai perpanjangan tangan Dewa untuk menyampaikan pesan kepada manusia. Bissu berasal dari dua kata bugis yakni 'Mabessi' atau kuat dan 'Bessi' atau suci. Melalui perbincangan panjang dengan satu-satunya Bissu yang masih tersisa di Bone, Samsul Bahri atau yang lebih dikenal dengan Angel, menuturkan bahwa dijaman dahulu peran Bissu sangatlah penting dan sangat dihargai keberadaannya oleh manusia, bahkan makhluk hidup lainnya. "Dulu Bissu bisa berkomunikasi langsung dengan Dewa dan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi, baik itu binatang maupun tumbuhan. Namun ketika manusia sudah mengenal agama, kebradaan Bissu mulai bergeser pada saat itu karena dianggap sebagai penyembah berhala. Setelah 70 tahun menghilang, Bissu akhirnya kembali diakui keberadaannya oleh manusia" tutur Angel.

 Dijaman kerajaan Bone, Bissu dianggap sebagai orang suci dan selalu dimintai pendapatnya oleh Raja dalam hal pemerintahan, agama, sosial, meteorologi serta dipercaya dalam hal pengobatan. "Pada jaman kerajaan, Bissu diberi tempat di istana oleh Raja. Kehidupan mereka ditanggung sepenuhnya oleh Raja, dan para Bissu pun tidak pernah berbaur dengan masyarakat biasa karena dianggap sebagai orang suci dimana mereka telah mengabdikan diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta serta tak lagi memiliki nafsu terhadap duniawi" lanjut Angel. Uniknya, Bissu bukanlah dari kaum lelaki atau perempuan, tapi 'Calabai' (waria). "Semua Bissu itu 'Calabai', tapi tidak semua 'Calabai' itu Bissu. Bissu sejak jaman dahulu itu ada 40 orang, yang mengetuai disebut 'Puang Matoa' dan wakilnya disebut 'Puang Lolo', tapi sekarang yang tersisa hanya saya dan karena belum ada yang layak menjadi 'Puang Matoa' sepeninggal ketua yang lama, saya pun tidak bisa diangkat jadi 'Puang Matoa' karena belum ada juga yang diangkat jadi wakil atau 'Puang Lolo', dan memang untuk dilantik menjadi seorang Bissu itu tidak mudah" jelas Angel.

Menurutnya, seorang Bissu itu punya keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh 'Calabai' lainnya. "Seorang Bissu dilantik oleh pemerintah dengan disaksikan oleh tokoh masyarakat dan itupun harus melalui ritual tertentu seperti 'Rebba' atau dikafani dengan syarat tidak boleh menikah dan harus melepaskan hasrat dunianya. Selain itu Bissu juga harus memahami 'Rekko Ota' yakni lipatan daun sirih sebanyak 40 jenis dan semuanya memiliki makna yang berbeda, juga adat 'Tudang Sipulung' dimana Bissu diberi siraman rohani" lanjut Angel. Dia yang kini bergelar 'Puang Lolo' terkadang merasa khawatir Bissu akan hilang tertelan jaman, apalagi sampai saat ini hanya dia satu-satunya yang menjadi penerus Bissu. "Bissu itu dilantik oleh pemerintah, dan dia pula yang berhak menilai apakah seorang 'Calabai' itu layak diangkat jadi Bissu atau tidak, makanya saya sangat khawatir karena sampai sekarang belum ada yang menggantikan posisi 'Puang Matoa', siapa kelak yang akan menggantikan saya juga" kesah Angel.

Jika dahulu Bissu dianggap orang suci dan sangat dihargai oleh masyarakat, keadaan saat ini justru sebaliknya, Angel mengaku terkadang mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari masyarakat. "Kalau dulu setiap ritual yang dilakukan Bissu memang dianggap sakral sehingga masyarakat hormat pada mereka, tapi sekarang jaman sudah modern, banyak aturan yang tak lagi sejalan dengan aturan Bissu jaman dulu. Sekarang kami berbaur dengan masyarakat biasa, bahkan kami harus berusaha keras untuk menghidupi diri kami sendiri agar tetap bisa makan. Terkadang saat pentas, masyarakat menertawai kami dan tidak menilai tarian kami itu sebagai ritual, hanya dijadikan tontonan semata" keluh Angel.

 Satu hal yang tak berubah dari Bissu yaitu mereka harus selalu taat pada pemerintah, kapanpun pemerintah meminta mereka hadir untuk melakukan ritual, Bissu tak bisa menolak. Angel mengaku kalau nilai sakral dari ritual yang biasa ia lakukan bersama anggotanya memang telah berkurang. "Saya tidak bisa memungkiri itu, dari segi dandanan saja sudah sangat modern yang akhirnya mengurangi kesakralan ritual kami" lanjutnya. Saat ini hanya beberapa jenis tarian yang biasa di pertunjukkan oleh Bissu, yakni tari atau Sere 'Bissu Maggiri', Sere 'Bissusulowara', Sere 'Bissu Lawulalle' atau 'Laburalle'. Pada saat melakukan tari 'Bissu Maggiri', Angel mengaku harus melakukan ritual Doa terlebih dahulu, Doa yang dipanjatkan disebut 'Memmang', dan ketika selesai mengucapkan Doa, tubuh Bissu akan dirasuki roh yang nantinya akan menggerakkan tarian 'Maggiri' tersebut. "Kalau tubuh saya tidak dirasuki roh pada saat ritual saya tidak akan berani melakukan tarian tersebut karena yang digunakan itu benda tajam semacam keris yang oleh para Bissu disebut 'Tappi' atau 'Alameng', dan benda tersebut sudah disucikan terlebih dahulu dengan menggunakan ritual tertentu.

Kalaupun masyarakat biasa menertawakan pertunjukan kami, karena mereka tidak mengerti dan memahami makna dari setiap gerakan yang kami buat, andai mereka memahami pasti akan terasa lebih sakral" jelas Angel. Pertunjukan Bissu sekarang ini hanya dilakukan jika ada tamu pemerintah atau pada moment tertentu yang mengharuskan Bissu melakukan ritual, dan setelah itu Bissu akan kembali ke kehidupan normalnya sebagai manusia biasa "Saya tetap harus bekerja jika ingin tetap hidup, karena hidup kami tidak bergantung pada hasil pertunjukan semata, karena itu saya sangat berharap suatu saat kelak pemerintah akan lebih memberi perhatian kepada saya dan teman-teman yang lain, dan jangan sampai Bissu nantinya hanya tinggal nama dan akan lenyap ditelan jaman" harap Angel dengan nada sedih.

Penulis : Eka
Editor : La Barakka