Ibnu Sultan
Penulis adalah, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Jurusan PGSD Universitas Negeri Makassar (UNM) Semester VII
Perbincangan hangat di kalangan masyarakat khususnya Suku Bugis (UGI) belakangan ini, yaitu "uang panai" (uang jujuran) terbilang cukup tinggi dalam perkawinan atau pernikahan di wilayah Sulawesi terkhusus di Sulawesi Selatan. Mungkin masih banyak yang belum mengerti bahkan tidak familiar dengan istilah"Uang Panai" tetapi bagi masyarakat Sulawesi khususnya yang mengerti tentang adat suku Bugis-Makassar itu adalah hal yang lumrah.
Uang panai' adalah sejumlah uang yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan lainnya serta merupakan bentuk penghargaan dan realitas penghormatan terhadap norma dan strata sosial serta sebagai ajang pembuktian bahwa pria tersebut mempunyai kesungguhan untuk melamar pasangannya. Uang panai' tidak terhitung sebagai mahar pernikahan, melainkan sebagai uang adat. Namun terbilang wajib dengan jumlah yang memeng sudah disepakati kedua belah pihak atau keluarga yang bersangkutan.
Konon, semakin tinggi pendidikan seorang perempuan, semakin tinggi pula uang panai'nya. Bahkan persoalan uang panai' ini tak jarang menjadi penghambat kaum pria menunda niatnya untuk melamar sang perempuan. Padahal menikah adalah hal yang baik. Bukankah seharusnya niat yang baik itu dimudahkan saja ? Yaaa... entahlah, itulah adat yang sudah menjadi tradisi di kalangan Suku Bugis Makassar dan sekitarnya.
Kita tidak boleh menyalahkan adat serta meninggalkan tradisi begitu saja, itulah yang menjadikan setiap daerah mempunyai ciri khas masing-masing dan pasti akan mempertahankan kekhasan daerahnya sehingga sulit untuk menghindar dari hal tersebut yang sudah mendarah daging dan cukup kental "tempo doeloe".
Kalimat uang panai' seolah menghantui pikiran, jiwa, serta bathin, kemudian menggerogoti diri layakya penyakit kanker yang semakin hari semakin ganas sehingga sangat terasa pada sebagian pria yang ada di Negeri tercinta Indonesia, wilayah Sulawesi terkhusus suku Bugis, Makassar dan sekitarnya. Tak jarang saya mendengar teman-teman di kampus, sering bercanda tentang kategori uang panai', mereka mengkastakan, kalau si perempuannya tamatan SMA uang panai'nya Rp 50 juta, S1 Rp 100 juta, S2 Rp 200 juta, S2 + cantik + hajjah + PNS + anak satu-satu (tunggal) : TAKKALA BUNUH MA "SAJA (sekalian bunuh saja diriku) hahaha ....
Fenomena ini, tak perlu heran, ketika uang panai' seringkali menjadi persaingan tingkat sosial seseorang, contohnya, ketika si A dilamar kekasihnya dengan mahar 1 hektar sawah atau kebun dan uang panai'nya Rp 100 juta. Berita soal uang panai'nya dengan mudah tersebar di kalangan masyarakat di wilayah tersebut, sehingga sampai di telinga keluarga si B, satu minggu kemudian si B juga dilamar oleh kekasihnya. Pihak keluarga si B meminta uang panai' sebesar 150 juta. Alasannya, supaya melebihi jumlah uang panai' si A, karena merasa tinggi kastanya.
Uang panai' juga seringkali di jadikan kompetisi bagi beberapa individu dan sebagai ajang gengsi, sehingga yang menjadi korban adalah putri mereka sendiri.
Dari anekdot itu, uang panai' bukan lagi menjadi mas kawin melainkan candu dalam sebuah pernikahan. Apakah dilarang ? Tentu tidak, sepanjang disepakati. Namun uang panai" kerap menjadi momok bagi pria yng akan menikahi gadis Bugis-Makassar sebab jumlahnya seringkali dirasakan"mencekik". pertengahan Agustus 2015 lalu, tersiar kabar, sebuah pernikahan dengan uang panai' tertinggi, mencapai Rp 500 juta, dari salah satu daerah di Sulawesi Selatan.
Konon, sebuah artikel dari sumber di media pemberitaan, Uang Panai' wanita, tertinggi itu adalah dari Suku Bugis, disusul Aceh, Borneo, Padang pariaman dan terakhir Nias. Tetapi semua itu , kembali pada masing-masing kedua belah pihak tentang jumlah uang panai' yang disepakati.
Tidak sedikit juga pasangan, terpaksa menelan pahitnya kehidupan percintaan yang dibelenggu aturan adat atau tradisi, sehingga membuatnya berpisah dan akhirnya kasih tak sampai dihempas badai gengsi uang panai'. Padahal mereka sudah saling mencintai satu sama lain sehingga anak tersebut menjadi korban akibat orang tua dan keluarga mempelai wanita itu sendiri, walau sebelumnya telah memiliki gairah hidup bahagia, tapi pada akhirnya, semangat hidup mereka hilang seiring berjalannya waktu dan tidak sedikit memilih jalan pintas dengan bunuh diri ketika tidak mampu lagi memikul beban penderitaan batinnya, apalagi ketika mereka tak memiliki bekal landasan iman.
Bahkan boleh jadi, ada pula sampai nekad "SILARIANG" alias kawin lari. Ini kerap terjadi jika mereka sudah benar-benar saling mencintai, mengabaikan resiko. Mereka sudah siap menanggung akibat dari pilihan hidupnya itu. Salah satu faktornya yaitu ketika syarat yang diminta pihak wanita, pihak pria tidak mampu penuhi uang panai', sehingga memilih jalan pintas demi mempersatukan cinta kasih mereka yang telah lama diidam-idamkan sebagai sebuah niat suci dalam mengarungi mahligai rumah tangga bahagia dunia dan akhirat, dalam bingkai keluarga Sakinah Ma Waddah Wa Rahmah.
Tetapi pria yang berfikir positif, memiliki mental yang tangguh, ketika melihat fenomena ini, akan menjadikannya sebagai motivasi dan tantangan tersendiri dalam bekerja keras mencari jati diri sehingga mampu memfokuskan diri berproses serta berusaha memantaskan diri untuk lebih pantas diterima mempersunting wanita pujaannya. Tak jarang pula pria bugis keluar merantau mencari dan mengumpulkan uang panai' untuk melamar wanita idamannya kelak.
Semua kembali pada individu masing-masing, Ketika tekad dengan niat yang kuat nan tulus, Insya Allah, Allah SWT senantiasa menunjukkan jalan hamba-Nya. Perlu diketahui tulisan ini bukanlah sebagai media untuk mempertontonkan siapa mahal siapa tidak" melainkan dalam tradisi ini kita bisa belajar, untuk mendapatkan sesuatu kita patut mengorbankan sesuatu pula, dituntut harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang ingin didapatkan.
(*****y